RADAR JOGJA – Pameran batik koleksi Keraton Jogja dan Kadipaten Pakualamanan selama sepekan digelar di Taman Pintar (Tampin) Jogja. Ada 17 koleksi yang dipamerkan yakni tujuh lembar kain batik dari Keraton Jogja dan 10 lembar dari Kadipaten Pakualaman.
“Ini bisa menambah wawasan, terutama generasi yang selama ini belum mengerti beda batik dari kota satu ke kota yang lain,” kata Wakil Wali Kota Jogja Heroe Poerwadi (HP) di sela membuka pameran bertajuk “Batik dalam Ruang dan Waktu” di Taman Pintar, Jumat (20/9).
Menurutnya, batik tidak sekadar pakaian semata, melainkan sebuah mahakarya seni yang memuat berbagai macam filosofi dan nilai yang ada di setiap karya-karya batik. Karena orang yang membatik dilandasi dengan semangat memberikan pesan.
“Jadi kalau orang yang mengenakan mestinya juga akan merasakan getaran pesan yang disampaikan. Dan inilah yang membedakan kita mengenakan pakaian batik dan bukan batik,” ujarnya. Dalam pameran ini, juga ada paparan penjelasan ke-17 kain tersebut.
Putri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Bendara menjelaskan, ke- 7 lembar kain batik dari Keraton Jogja yang dipamerkan menceritakan simbolik dan falsafah yang digunakan dalam prosesi mitoni atau selamatan 7 bulanan GKR Hayu.
Saat mitoni, putri ke-4 Sultan HB X itu mengenakan tujuh kain batik. Masing-masing dari kain batik yang dikenakan memiliki motif dengan makna yang dalam.
Semua motif kain yang dipilih mempunyai maksud agar anak yang dilahirkan kelak mempunyai karakter, kepribadian, dan kedudukan yang baik. Koleksi batik itu meliputi Nogosari, Grompol, Semen Sidoasih, Semen Romo, Sidomukti, Cakar Ayam, dan Babon Angkrem.
“Pada saat kakak saya GKR Hayu mitoni itu, memilih motif ksatria dan Semen Sidoasih karena di situ ada doa-doa,” ungkap putri bungsu Sultan HB X ini.
Motif Semen Sidoasih, dikatakan, sida berarti menjadi dan asih berarti sayang dan mengasihi. Motif ini melambangkan harapan hidup bersama dalam rasa saling menyayangi, mengasihi, di kala suka dan duka dengan lambaran takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sedangkan untuk motif seperti cakar ayam melambangkan agar kelak bayi itu memiliki rezeki atau kelancaran dari segi kehidupannya. “Ini menjadi sesuatu yang sudah banyak dipakai pada saat mitoni di masyarakat luas,” tambah GKR Bendara.
Ia menambahkan, memang ada beberapa hal yang bisa diikuti saat proses mitoni. Tetapi yang terpenting adalah seorang ibu harus memiliki doanya sendiri terhadap anak tersebut. Sehingga kain-kain yang dipakai sang ibu juga harus melambangkan dari keinginan si ibu itu sendiri.
“Kalau diliat dari proses mitoni itu, ibunya memakai pakaian tujuh kali berganti dan terakhir ditaruh ke bawah. Lalu yang paling pantas terakhir digunakan adalah pakaian yang tersimpel, seperti tenun, bukan batik,” jelasnya.
Sedangkan dari Kadipaten Pakualaman menampilkan koleksi Pepadan. Pepadan dari kata dasar “pada” yang berarti bait. Ini merupakan gambar tertentu yang digunakan untuk menandai pergantian “pupuh” tembang dalam satu teks.
Pupuh dalam tembang macapat adalah kumpulan bait-bait tembang dengan metrum yang sama, yakni aturan suara vokal di akhir baris, jumlah suku kata dan jumlah baris dalam satu bait.
“Banyak sekali memang warga Jogja yang belum mengenal batik. Dengan momen ini batik Jogja bisa memasyarakat, baik untuk warga Jogja sendiri maupun seluruh Indonesia,” ujar GKBRAy Paku Alam.
Batik pepadan yang ditampilkan ada 10 lembar kain, meliputi Maskumambang (dalam kandungan), Mijil (lahir), Sinom (muda), Kinanthi (tuntunan), Asmarandana (asmara), Gambuh (kecocokan), Dhandhanggula (senang), Durma (dermawan), Pangkur (menjauhi hawa nafsu), Megatruh (kematian), dan Pocung (dibungkus mori putih). “Jadi ini memiliki filosofi daur kehidupan, mulai kelahiran hingga meninggal dunia,” jelas istri Wakil Gubernur DIJ Paku Alam X ini.
Kepala Bidang Pengelolaan Taman Pintar Afia Rosdiana mengatakan, pameran batik ini merupakan yang kali kedua. Di mana tahun pertama juga digelar pameran batik koleksi Keraton dan Kadipaten Pakualaman Jogja dengan tajuk “Cerita Dibalik Goresan Canting” yang hanya mencoba mengangkat masyarakat tentang cerita batik itu sendiri. “Tahun ini kami gelar dengan tema berbeda, koleksinya pun yang ditampilkan berbeda,” kata Afia.
Pameran yang terselenggara di Tampin itu ditambahkan Afia sebagai upaya guna menguatkan ikon Jogja sebagai kota budaya. “Jadi kalau mau belajar budaya, bisa di Tampin juga,” tambahnya.
Selain memamerkan kain batik, pengunjung juga disuguhi seperti mewiru, membatik dan sebagainya yang akan diajarkan langsung oleh narasumber dari Keraton dan Kadipaten Pakualaman. “Tentu harapan kami pengunjung dapat pengetahuan baru tentang batik dan makna yang mendalam setiap lembar batik,” harap Afia. (cr15/laz)