RADAR JOGJA – Penggunaan alat dan mesin pertanian (alsintan) menjadi sebuah keniscayaan dalam pengembangan sektor pertanian. Lebih dari itu, pengembangan pertanian membutuhkan konsep cerdas. Konsep ini dikenal dengan istilah smart farming atau precision agriculture.
Dosen Politeknik Pembangunan Pertanian Yogyakarta-Magelang Jurusan Penyuluhan Peternakan (Polbangtan YoMa Jurluhnak) Dr Susanto menjelaskan, smart farming merujuk pada penerapan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) bidang pertanian. “Tujuan utama penerapan teknologi ini untuk melakukan optimasi berupa peningkatan hasil (kualitas dan kuantitas, Red) serta efisiensi penggunaan sumber daya yang ada,” ungkapnya dalam siaran interaktif Bincang Agribisnis di Stasiun Radio Fast FM, Rabu malam (2/10).
Bersama dosen Prodi Penyuluhan dan Kesejahteraan Hewan Haris Tri Wibowo SP MSi, Susanto membedah keberlanjutan usaha bisnis peternakan di era teknologi informasi industrialisasi 4.0.
Menurut Susanto, perjalanan revolusi industri 4.0 bidang pertanian di Indonesia saat ini belum begitu berkembang. Salah satu penyebabnya faktor sumber daya manusia (SDM). Profesi petani masih didominasi usia lebih dari 40 tahun. Taraf pendidikan mereka pun lebih banyak hanya mandek di sekolah dasar (SD). Bahkan tak sedikit yang tidak mengenyam bangku sekolah. “Inilah yang menyebabkan kurangnya inovasi demi meningkatkan hasil pangan,” katanya.
Di sisi lain, masyarakat belum sepenuhnya bisa menerima kehadiran teknologi modern. Petani memilih cara tradisional dibanding peralatan teknologi canggih. Dengan alasan keterbatasan biaya dan pengetahuan.
Kondisi lahan pertanian juga berpengaruh. Penyebaran penduduk yang belum merata mengakibatkan banyak “lahan tidur.” Lahan belum tergarap maksimal. Sedangkan lahan strategis justru menjadi rebutan, sehingga harganya mahal.
Haris Tri Wibowo menambahkan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan guna menopang peternakan rakyat. Agar bisa tetap bertahan di tengah masa peralihan menuju revolusi industri 4.0.
Insfrastruktur informasi dan teknologi harus ada di daerah. Penyediaan jaringan internet sampai desa-desa. Peternakan harus dibangun berdasar klasterisasi atau spasialisasi sebuah wilayah peternakan. “Pelaksanaannya harus menggunakan teknologi finansial. Sebab, syarat lepas dari kemiskinan dengan memanfaatkan teknologi dan finansial sebagai inovasi baru,” katanya.
Langkah lainnya dengan manfaatkan jejaring bisnis lewat sistem aplikasi. Guna mempermudah sistem transportasi, logistik, komunikasi, dan faktor pendukung lainnya. “Petani dan peternak harus memiliki 4C. Yakni critical thinking, creativity, communication, dan collaboration” jelasnya.
Selain itu, petani dan peternak harus berusaha mewujudkan sikap skeptis dan kritis, serta mampu melahirkan inovasi baru. “Media massa berperan dalam proses produksi informasi. Perlu saling bekerja sama sesama anak bangsa dalam membangun Indonesia,” tegas Haris. (*/yog/ila)