RADAR JOGJA – Lahan pertanian terbatas tak menghalangi masyarakat Kota Jogja untuk unjuk potensi dan kreativitasnya di bidang pertanian. Hal ini ditunjukkan dalam pameran Gelar Potensi Pertanian dan Festival Satwa yang dihelat  25-27 Oktober di halaman Balai Kota Timoho.

Sebanyak 50 stan turut meramaikan pameran. Terdiri atas gabungan kelompok tani (Gapoktan) dari 14 kecamatan di Kota Jogja, perguruan tinggi, Dinas Pertanian dan Pangan seluruh DIJ, maupun komunitas Aglonema. Beragam produk pertanian seperti sayur, buah, bunga dan olahan makanan ditampilkan kepada pengunjung.

Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kota Jogja Sugeng Darmanto mengatakan, kegiatan juga dihelat dalam rangka memperingati HUT ke-263  Kota Jogja.

Ini juga menjadi momentum untuk meningkatkan ketahanan pangan dengan pertanian bebasis keluarga. “Saya berharap ini bisa menjadi gerakan massif,” tuturnya  di sela-sela kegiatan, Jumat (25/10).

Kota Jogja sendiri hanya memiliki area sawah  53 hektare. Dengan produksi padi  sekitar 60 ton per tahun. Ini tak mampu memenuhi kebutuhan pangan bulanan masyarakat. Sehingga yang perlu dikembangkan adalah pertanian kota dengan memanfaatkan lahan minim.

Dia mengimbau petani tidak mengejar produksi secara masif, melainkan produksi yang setiap saat bisa dinikmati. Yakni tidak berorientasi pada aspek ekonomi, namun   aspek keluarga. “Apabila dirasa bisa digunakan orang lain itu adalah bagian bonusnya,” katanya.

Sedangkan untuk meningkatkan nilai ekonomi, pihaknya selalu mendorong petani untuk mengandalkan kemasan. Misalnya hasil panen jangan langsung dipetik, namun ditata dalam pot. “Kita tonjolkan kemasannya. Misalnya pakai pot yang bagus, tata letak bagus, cabai ada warna-warni dan sebagainya,” jelasnya.

Aktivitas pertanian kota yang menciptakan lanskap hijau akan berpengaruh terhadap kondisi perasaan dan emosi warga kotanya. “Salah satu nilai plusnya adalah menambah nilai guyub. Misalnya pagi-pagi bangun tidur bisa berinteraksi dengan warga sekitar sambil nyiram bunga,” tuturnya.

Ketua Asosiasi Tambulapot Kota Jogja Eka Yulianta menjadi salah satu peserta pameran. Menurutnya, tambulapot menjadi salah satu metode budidaya tanaman untuk menjawab tantangan keterbatasan lahan.

“Bisa diterapkan di tanah yang sempit, sekitar 10 meter persegi. Untuk tanamannya bisa beragam seperti selada, sawi, dan seledri,”  ujarnya.

Dijelaskan, konsep tambulapot sangat sederhana, yakni mengonversi tanaman yang biasa ditanam di tanah luas untuk ditanam di tempat terbatas seperti planter bag, pot, dan ember.

“Yang ekstrem kami ada menanam pohon pisang pakai pot dan itu berbuah. Tapi tidak bisa kami bawa,” jelasnya.

Menurutnya, metode tambulapot akan menghasilkan produk pertanian yang lebih baik. Dikarenakan kontrol hama dan penyakit dapat dilakukan dengan lebih mudah.

Wasiko dari Kelompok Tani Retno Makmur Rejowinangun, Kotagede, memamerkan singkong gajah miliknya. Produknya mampu mencuri perhatian pengunjung.

Ini karena singkong tersebut memiliki ukuran di atas rata-rata. Singkong miliknya dipanen saat berusia satu tahun. Sengaja dipersiapkan untuk mengikuti pameran.

Bibit singkong gajah dia dapatkan dari Tulungagung. Saat itu dia membeli bonggol 10 potong untuk di tanam di Jogja. Selain berukuran besar, singkong gajah juga memiliki tekstur yang empuk apabila dikonsumsi.

“Kalau dimakan rasanya ngepok-ngepok,” jelasnya. Menurutnya, singkong yang dipanen di musim kemarau memiliki kualitas yang lebih bagus. (*/cr16/laz)