RADAR JOGJA – Merasa tidak mendapatkan keadilan, lima pedagang kaki lima (PKL) Gondomanan melakukan tapa pepe di depan Pagelaran Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Senin (11/11). Mereka menyampaikan keberatan atas rencana eksekusi hari Selasa ini.

Harapannya, kelima PKL tetap diizinkan berjualan di lokasi itu.

Aksi ini berawal dari sengketa pemanfaatan lahan magersari. Putusan persidangan di tingkat Pengadilan Negeri (PN) Jogja menyatakan pihak Eka Aryawan sebagai pemenang. Begitu pula saat proses banding di Pengadilan Tinggi Jogjakarta hingga kasasi di tingkat Mahkamah Agung (MA).

“Maunya menghadap Sultan, agar sitik iding dalam menempati lokasi itu. Ya, maksudnya berbagi lokasi, karena kami sudah lama di sana. Saat ini posisi kios kami juga sudah di pojok paling selatan. Sudah tidak di depan ruko lagi,” ujar seorang pelaku tapa pepe, Sugiyadi, 53.

Pria yang kesehariannya berdagang kuliner bakmi ini mengaku keberatan. Terlebih Sugiyadi sudah menempati lokasi itu selama 20 tahun. Sayangnya saat ditanya serat kekancingan dia tidak bisa menjawab. Acuannya hanya lokasi yang dihuni sejak era orangtuanya.

“Bapak jualan bakmi di sana sejak 1948, terus saya melanjutkan sudah 20 tahun ini. Sudah ikut proses persidangan di PN Jogja, kalah lalu naik lagi ke Pengadilan Tinggi, terakhir sampai kasasi MA. Belum tahu putusannya, soalnya LBH yang mewakili,” ujarnya.

Kadiv Advokasi LBH Jogjakarta Budi Hermawan mengakui PKL tak memiliki serat kekancingan. Hanya saja dia meyakini penempatan lokasi itu tetap sah. Salah satunya keterangan para PKL. Penempatan lokasi berdasarkan arahan Sri Sultan HB IX pada tahun 1961.

Pertimbangannya adalah lokasi yang sepi dan rawan kriminalitas. Para PKL, lanjutnya, dipercaya untuk meramaikan kawasan sekitar simpang empat Pojok Beteng Gondomanan.

Seiring waktu berjalan, tanggung jawab merawat magersari jatuh kepada generasi selanjutnya.

“Perjalanannya sejak 1961 dan sudah turun temurun. Ini sekarang sudah generasi kedua. Memang tidak punya kekancingan atau tanda bukti, tapi mereka punya bukti SPPT. Setiap tahun mereka bayar pajak rutin,” jelasnya.

Menurutnya, turunnya SPPT adalah sebuah bukti. Keberadaan para PKL diakui secara legal. Tak hanya pajak, para PKL juga dibebani tarif listrik setiap bulannya. Artinya pungutan oleh negara menjadi jaminan PKL menikmati hak atas tanah.

“Medio 2010 memang sempat minta kekancingan ke panitikismo keraton, tapi tidak diberi. Herannya pada 2011 malah keluar kekancingan atas nama Eka. Hingga akhirnya 2015 muncul gugatan Eka kepada para PKL karena merasa diserobot haknya,” ujarnya. (dwi/laz)