RADAR JOGJA – Berpulangnya Djaduk Ferianto membawa kabar duka bagi dunia seni. Sosoknya yang hangat dan menggembirakan membawa kerinduan tersendiri.

Djaduk Ferianto adalah sosok penting dalam dunia seni di Indonesia. Djaduk meninggal dunia pada Rabu dini hari (13/11), sekitar pukul 02.30. Dia meninggal lantaran serangan jantung.

“Dia itu menginisiasi banyak event. Dia menjadi penggerak musik alternatif,” ungkap Kurator Seni dan Pengajar Seni Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta Suwarno Wisetrotomo usai takziah di Rumah Duka Djaduk Ferianto di Padukuhan Kembaran RT 05, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Rabu siang (13/11)

Beberapa event musik yang digagas antara lain Keroncong kota Gede, Jazz Gunung, Sinten Remen dan Kuaetnika, Ngayogjazz dan lain-lain. Bahkan dia membidangi semua seni. Baik seni rupa, seni musik dan seni pertunjukan.

Suwarno mengaku, dirinya dekat dan bersahabat baik dengan Djaduk. Bahkan semenjak SMA sudah berteman. Djaduk adalah adik kelasnya.

“Djaduk sosok yang memberikan kegembiraan banyak orang. Dia pantas dikenang dengan indah. Tuhan menyayangi dia dengan memanggilnya lebih cepat,” ungkap Suwarno berkaca-kaca tampak air menggenang di pelupuk mata.

Djaduk merupakan Alumnus Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) tahun 1985. Yang sebelumnya dikenal dengan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) dan kini berubah nama menjadi Institute Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta.

Dia mengambil jurusan Seni Rupa dan Desain. Kendati begitu, Seni Rupa bukan pilihan utamanya melainkan memilih konsentrasi pada musik. Dia pun juga tak meninggalkan dunia Seni Rupa. Termasuk dunia fotografinya.

“Mengolah sense musik dan mengelola dengan seni rupanya. Itulah ambisi Djaduk, dunia Djaduk,” ungkap Suwarno, pria kelahiran Kulonprogo.

Suwarno mengaku, belum lama ini dia bertemu dengan Djaduk. Bercakap-cakap, bergurau san berdiskusi serius. Bahkan kenangan yang begitu melekat. Saat penyelenggaraan event jazz beberapa waktu lalu Djaduk mengajaknya berkonstribusi.

Mengundangnya untuk memberikan pandangan mengenai musik dalam Forum Group Discussion (FGD). Diminta menjadi narasumber pada penyelenggaraan jazz kala itu.

“Bagi saya itu penghormatan luar biasa. Saya berduka, Indonesia berduka. Kita berdoa mudah-mudahan semua ibadah kesenian dan budayanya diterima Allah SWT,” ucapnya.

Begitu juga bagi dua seniman perempuan yang turut hadir ke rumah mendiang Djaduk. Laksmi Sitharesmi dan Lucia Hartini. Dia mengatakan, sosok Djaduk tidak tergantikan. Dia mewarisi sifat ayahnya Bagong Kussudiardja. Kreatif dan terbuka.

“Dia sosok no profile, ndablek dan menjadi inspiratif bagi adik tingkatnya,” kata Laksmi.

“Pernah beberapa kali berkolaborasi performance art. Orangnya asik, begitu ngobrolin seni, konsepnya cocok, langsung realisasi. Sama siapapun tanpa pilih-pilih,” katanya. (mel/riz)