MENTERI Dalam Negeri Tito Karnavian menghembuskan wacana agar terealisasinya evaluasi pilkada langsung. Upaya tersebut dilakukan oleh Tito Karnavian ditengah keresahannya terhadap maraknya korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah terpilih.
Rupanya, biaya pilkada langsung yang terlalu tinggi membuat banyak kepala daerah melakukan pengembalian modal secara ilegal dengan cara korupsi karena penghasilan kepala daerah tidak bisa menutupi biaya kampanye yang sangat tinggi. Terlebih lagi, UU Pilkada tidak memiliki batasan belanja kampanye sehingga kepala daerah memiliki banyak kebebasan untuk betindak laku korupsi.
Besarnya dana pilkada tentu perlu diawasi, karena dana pilkada bergantung pada belanja pilkada. Pastinya belanja pilkada antar daerah berbeda, dimana pilkada tergantung pada: (1) Jumlah pemilih, (2) Jumlah TPS, (3) Jumlah wilayah adiministratif di daerah pemilihan (kab/kota, Kecamatan, Desa/Kelurahan), (4) Jumlah pasangan calon, dan (5) Jumlah putaran pilkada.
Sedangkan Komisioner KPU Pramono Ubaid Thantawi menyebutkan bahwa timnya sudah mengusulkan biaya pilkada langsung 2020 di 252 daerah, dari total 270 daerah yang menggelar pesta demokrasi, sebesar Rp10,9 triliun. Jumlah usulan anggaran ini naik dari besaran usulan anggaran pada Pilkada Serentak 2015 yang mencapai Rp7,09 triliun untuk sembilan provinsi dan 260 kabupaten/kota.
Artinya, biaya pilkada yang sedemikian rupa besarnya dipengaruhi oleh bertambahnya jumlah pemilih. Semakin banyak jumlah pemilih, semakin banyak belanja yang dikeluarkan oleh kandidat kepala daerah karena semakin sengitnya kompetisi calon kepala daerah yang begitu merambah. Maka tingginya biaya belanja, dengan kata lain belanja kampanye akan meningkatkan jumlah tindak laku korupsi kepala daerah.
Tidak mengherankan jika pilkada langsung kerap dituding sebagai beban tahun pemerintahan daerah. Karena biaya pilkada yang besar melibatkan seluruh pemilih di daerah pemilih yang akibatnya menghambat penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Pertanyaannya, apakah pilkada langsung benar menjadi sebuah beban bagi pemerintahan daerah? Padahal landasan hukum pilkada langsung yaitu pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
Tentu dengan proses pemilihan yang demokratis, akan tercipta pemerintahan yang demokratis pula. Seperti pada UU No.32/2004 dan PP No.6/2005, pilkada langsung mempermudah pelaksanaan sistem pemerintahan daerah yang demokratis dan procedural.
Selain itu, pilkada langsung secara normatif juga menjamin terealisasinya prinsip-prinsip demokrasi yakni bekerjanya prinsip kebebasan individu dan persamaan dalam hak politik.
Pemerintahan daerah yang demokratis akan tercapai dengan berjalannya pilkada langsung, mengingat pilkada langsung memiliki aspek: (1) teritorial kekuasaan yang jelas (legal territorial of power); (2) pendapatan daerah sendiri (local own income); (3) lembaga perwakilan rakyat (local representative body) yang berfungsi untuk mengontrol eksekutif daerah; dan (4) adanya kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui mekanisme pemilu.
Walau pilkada langsung membebani anggaran pemerintahan daerah namun demokratis, ada sebagian pihak yang mengusulkan mengembalikan pilkada kepada anggota DPRD. Alasannya adalah sebagai berikut: Pertama, pilkada langsung terbukti tidak efisien dilihat dari sisi anggaran. Kedua, para kepala daerah produk pilkada langsung tidak lebih baik dari para kepala daerah hasil pemilihan oleh dewan. Ketiga, pilkada langsung banyak diwarnai praktik-praktik tidak sehat seperti jual beli suara.
Terlebih lagi, kepala daerah yang dipilih oleh dewan hanya melibatkan para anggota DPRD yang jumlahnya hanya sebanyak 20-50 orang untuk DPRD kabupaten/kota, dan sebanyak 35-100 orang untuk DPRD provinsi. Akibatnya anggaran yang dikeluarkan untuk pilkada tidaklah membengkak.
Adapun ada hal yang perlu diperhatikan dari pilkada tidak langsung. Karena dengan menggunakan pilkada tidak langsung, maka fungsi Indonesia sebagai negara demokrasi tidak akan terwujudkan. Justru gagasan negara totaliter yang akan berjalan. Gagasan yang berjalan ini akan mengarah pada suatu macam sistem pemerintahan yang bernama electrocacy.
Electrocacy adalah sebuah sistem pemerintahan dengan demokrasi defisit, dimana pemerintahan seolah-olah demokratis dalam upaya memenuhi prinsip pemerintahan yang merepresentasikan rakyat. Kondisi demokrasi yang seperti ini tidak sehat, sebab pemerintahan tidak berbagi kekuatan dengan masyarakat dalam mengambil keputusan. Malahan, pemerintahan hanya memandang masyarakat sebagai komponen kecil yang perlu dibina untuk melanggengkan kekuasaannya.
Melihat pertimbangan antara pilkada langsung dan tidak langsung, diperlukan jalan tengah dalam menyelesaikan permasalahan ini. Salah satu alternatifnya adalah dengan tetap menjalankan pilkada langsung, namun tetap menyediakan dana Cadangan Belanja Pilkada.
Penyediaan Dana Cadangan Belanja Pilkada merupakan pilihan cerdas, terutama untuk daerah yang pelaksanaan pilkada berdekatan dengan pelaksanaan pemilu yang juga menyerap dana APBD. Penyediaan dana cadangan ini bertujuan untuk menghindari kemungkinan penundaan pilkada karena faktor biaya yang tidak mampu disediakan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan. Anggaran yang dikeluarkan untuk pilkada langsung pun akan lebih sedikit dibandingkan pilkada langsung sebelumnya.
Akhirnya, terpilihnya kepala daerah yang berkualitas melalui pilkada langsung menjadikan harga penyelenggaraan pilkada langsung sangat murah. Namun bisa saja ini menjadi pisau bermata dua, jika ternyata serapan dana yang besar ini tidak menjamin kualitas produknya. Maka untuk mengimbanginya, diperlukan seleksi kandidat kepala daerah yang ketat guna mencapai pilkada langsung yang ideal. (ila)
*Penulis merupakan mahasiswa S1 Teknik Fisika UGM 2016.