Perusahaan pembuat mi lethek yang satu ini tetap mempertahankan gaya tradisionalnya. Mulai pembuatan mi hingga perekrutan pekerja. Hasilnya, perusahaan mampu bertahan hingga lebih dari 70 tahun.
ANISATUL UMAH, Bantul
LETHEK dalam bahasa Jawa berarti kotor. Nama itulah yang menjadi ciri khas mi asal Bantul, Jogjakarta. Tidak ada bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan mi tersebut. Mi dibuat secara manual dengan bahan alami dari tepung tapioka dan singkong.
Tempat pembuatan mi itu berada di Dusun Bendo, Kelurahan Trimurti, Srandakan, Bantul.
Menuju lokasi tersebut tidak terlalu sulit, sekitar satu jam perjalanan dari Kota Jogja. Warga sekitar pun mengetahui lokasi produksi mi tersebut. Siang itu Jawa Pos melihat para pekerja sibuk mengangkat mi lethek yang kering setelah dijemur.
Tiga sapi dalam kondisi terikat menanti tuannya selesai mengaduk adonan mi untuk digiling. Dalam sehari, pengadukan adonan dilakukan enam kali. Tiap sapi dapat dua sif mengaduk. Di kiri tempat mengaduk adonan, ada tulisan smoking area. Seorang pekerja sibuk menginjak-injak adonan dengan kaki sembari merokok.
Adalah Yasir Ferry, 44, generasi ketiga yang kini meneruskan usaha itu. Ferry menceritakan, perusahaan tersebut berdiri pada 1940-an. Sang pendiri adalah kakeknya, Umar Bisir Nahdi. Tujuan awal dibukanya perusahaan mi itu sejatinya bukan mencari nafkah, melainkan syiar agama.
“Di tahun itu orang sini kan butuhnya makan, sehingga lebih mudah dalam syiar,” ungkap dia, lalu mengisap rokok dalam-dalam.
Ferry memegang perusahaan itu sejak 2002 hingga sekarang. Sistemnya masih sangat tradisional. Termasuk dalam perekrutan tenaga kerja. Perusahaan tersebut menjadi ikon bagi warga sekitar. “Kami ini bahasanya ngawulo,” katanya.
Proses produksi dimulai dengan merendam tepung gaplek. Kemudian, tepung tapioka kering dicampurkan. Campuran tersebut lalu dituang ke semacam wadah besar. Wadah itu dihubungkan dengan alat khusus ke tubuh sapi. Lalu, sapi-sapi tersebut berjalan memutar. Dengan begitu, adonan teraduk.
Setelah itu, ada pekerja yang menginjak-injak adonan sampai padat dan membentuknya menjadi kotak. Lalu, adonan itu dikukus sekitar dua jam. “Adukan pertama mencampur tepung gaplek dan tapioka,” terang pria kelahiran Bantul, 6 Februari 1975, itu.
Setelah dikukus, adonan dibawa kembali ke tempat pengadukan. Sebab, hasil pengukusan hanya mematangkan bagian luar. Sambil adonan diaduk, kadar airnya dilihat. Jika kadar air terlalu tinggi, adonan ditambahi tepung tapioka kering. Pengadukan dilakukan sekitar satu jam, bergantung kadar air.
Pengadukan ditangani tiga pekerja. Adonan yang sudah jadi dibawa ke mesin pres untuk dicetak ke bentuk mi. Mi basah itu didinginkan satu malam. Paginya, mi direndam dalam ember, lantas dicuci untuk menghilangkan yiyit-nya. Mi dijemur di bawah terik matahari sejak pukul 06.00 sampai 15.00.
“Kalau nggak kering, ya kami masukkan lagi,” jelas dia.
Lebih lanjut dia menerangkan, semua pekerja di pabrik mi lethek itu adalah warga setempat. “Ada 35 pekerja, termasuk tukang masaknya 4 orang,” ungkap laki-laki yang lebih dikenal warga sekitar dengan sebutan Arabe karena masih keturunan Arab itu. Pekerja sama sekali tidak tertekan. Bahkan, hari libur pun mereka tentukan sendiri.
Karena menganut asas sosial, Ferry tak mau mengambil banyak keuntungan. Dia hanya mematok target laba 6 persen dari modal keseluruhan. “Begitu mi kering dan siap packing, kami langsung bayar pekerja,” terang dia.
Satu hari produksi biasanya menghabiskan 1,1 ton tepung tapioka dan tepung gaplek. Setelah jadi mi, beratnya 1 ton saja. Dalam seminggu, perusahaan bisa memproduksi tiga atau empat kali, bergantung kesepakatan dengan pekerja.
“Makan minum juga kami yang tanggung karena sudah ada ibu-ibu yang bekerja di sini khusus memasak untuk pembuat mi lethek,” imbuh dia sambil menunjuk lokasi dapur di kanan tumpukan karung tepung.
Pemasaran mi tersebut masih mencakup kawasan Bantul dan Jogja. Tidak dikembangkan ke wilayah lain. Mengapa? Sebab, pengerjaan masih berasas sosial sehingga pabrik tidak bisa memproduksi banyak. Selain itu, kendala finansial. Belum pernah ada kerja sama dengan bank atau pemerintah.
Dari semua alat produksi, hanya mesin pres mi yang sudah berubah menggunakan teknologi. Sebelumnya, pres dilakukan secara manual dengan kayu yang ditekan enam orang.
Menurut dia, mi lethek sangat berbeda dengan mi lain. Mi pada umumnya menggunakan tepung beras. Berdasar tes yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM), mi lethek bisa bertahan hingga setahun jika pengeringan dilakukan sehari.
“Pematangan dua kali menjadikan masa kedaluwarsa panjang,” papar dia.
Dalam sekali produksi, dia bisa menghasilkan 200 bungkus mi. Berat per bungkus 5 kg. Menjelang Lebaran, permintaan bisa naik sampai 100 persen. Karena itu, proses produksi lebih sering. Bisa enam kali dalam seminggu.
“Tapi, semua bergantung pekerja. Kalau pasar teriak minta tambah, kami tutup kuping saja,” papar dia, lalu tertawa.
Menurut dia, konsumen yang sudah biasa menikmati mi lethek tidak akan mau beralih ke mi lain. Mi lethek biasa juga disebut mi sehat atau mi diet. Kuliner itu menjadi buruan karena keunikannya. “Ini jadi ikonnya Jogja, Bantul khususnya,” imbuh dia.
Sunarjo, 57, pekerja di perusahaan mi lethek, menekuni pekerjaan itu sejak 2003. Sebelumnya, dia bekerja sebagai pengangkut pasir. Lokasi pabrik mi yang dekat dengan rumah menjadi salah satu alasan dia bekerja di tempat tersebut.
“Sudah kayak keluarga sama yang punya pabrik dan pekerja di sini,” terang dia sembari membenarkan posisi duduknya di atas dipan.
Di pabrik mi lethek, dia tidak hanya bekerja di bagian produksi. Dia juga bertugas merawat sapi-sapi yang digunakan untuk mengaduk adonan. Semua kebutuhan sapi, mulai makan hingga kebersihan kandang, dia urus. “Kalau untuk produksi, saya melengkapi yang kurang saja,” jelasnya.
Menurut Sunarjo, sebelum pekerjaan dimulai, pagi biasanya disediakan bubur. Setelah itu, pada pukul 08.00, sarapan sudah siap dan disantap bersama pekerja lain. “Makanan sih tersedia terus,” ungkap kakek tiga cucu tersebut.
Kasiman, 64, pekerja lain, bertugas merekrut tenaga kerja baru. Menurut dia, tidak ada syarat khusus bagi calon pekerja. Kasiman mengaku sudah lebih dari 15 tahun menggantungkan hidup pada pabrik mi tersebut. Seperti Sunarjo, Kasiman senang bekerja di pabrik mi lethek karena dekat dengan rumahnya. Sebab, saat jam istirahat tiba, dia bisa pulang ke rumah.
“Semua orang di sekitar sini pasti tahu mi lethek mana,” katanya. (jpc/riz)