BAGAI pungguk merindukan bulan. Mustahil rasanya ketika harus membayangkan saya lulusan SMA ingin mendaftar salah satu universitas terbaik di dunia, Universitas Harvard.

Saya bukanlah siswa yang memiliki prestasi gemilang. Bahkan untuk beberapa nilai di rapor saja, terkadang harus puas diri dengan angka kriteria KKM. Selama periode itu saya beruntung mendapat beberapa pengalaman belajar mengikuti pertukaran pelajar ke Adelaide, Australia dan summer course di Singapore.

Pengalaman tersebut sangat kontras dengan pengalaman sekolah di Indonesia, materi sangat banyak dan penuh hafalan dalam periode pendek seringkali membuat saya tidak antusias belajar. Saya pun mengetahui konsep pendidikan tertua di dunia pendidikan tinggi Barat (liberal arts).

Mata pelajarannya tidak menjurus secara spesifik ke vokasi, akademik atau profesional. Sepintas dalam benak saya itu adalah tempat yang cocok bagi saya. Mimpi saya adalah menemukan formula sains kultur Indonesia. Membuat salah satu solusi dari masalah sosial-pendidikan dan budaya di Indonesia melalui cerita naratif fiksi.

Mengombinasikan ilmu filsafat, ekonomi, politik, dan seni. Ambisi saya adalah menginjeksikan formula itu kedalam sebuah cerita yang bertemakan pramuka sebagai sekolah kehidupan di medium virtual futuristik. Menggabungkan filosofi barat dengan kultur Asia sekaligus menunjukan esensi Indonesia. Karenanya, diperlukan pengetahuan seluas-luasnya untuk mengintegrasikan cara kerja kehidupan di dunia nyata dalam cerita fiksi. Hal itu mungkin akan lebih mudah bila saya belajar di universitas yang menggunakan pendekatan liberal arts. Sayangnya belum ada di Indonesia.

Tujuan pendidikan vs kepentingan nasional secara umum kita akan membayangkan sebuah sistem mekanis yang mendorong siswa meraih nilai tinggi, sehingga ketika lulus mereka mendapatkan pekerjaan mapan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya nanti.

Dua kebutuhan terbesar dalam keluarga adalah rumah dan pendidikan. Dengan kata lain, siswa belajar keras untuk mendapatkan nilai tinggi untuk mendapatkan pekerjaan yang baik, demi membeli rumah dan mengirim anak-anaknya ke perguruan tinggi untuk belajar kelak.

Mengejar nilai tinggi untuk mendapatkan pekerjaan, dan demikian seterusnya. Seperti lingkaran setan. Menurut Aristoteles, tujuan pendidikan tidak hanya mendapatkan pengetahuan tetapi juga untuk memperoleh kebahagiaan dan kebaikan dalam kehidupan. Seharusnya alasan utama untuk kuliah bukan sekedar untuk menghasilkan uang, tetapi untuk menumbuhkan pikiran dan jiwa manusia, menjadikan pribadi yang lebih baik.

Saat ini Indonesia sedang berusaha untuk melepaskan diri dari middle income trap sekaligus bersiap diri untuk menghadapi zaman digital dan masa depan yang tak menentu. Salah satu cara yang diyakini adalah melalui peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun seperti sebuah dualisme. Pendidikan yang berorientasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, untuk apa sekolah bila untuk mencari makan saja susah, di sisi lain juga kebutuhan idealisme untuk terus belajar seperti yang dikatakan Aristoteles.

Tidak mudah untuk mempertemukan idealisme tersebut. Bagaimana memenuhinya? Terbatasnya eksplorasi kekuatan alami dan pemahaman potensi konstan untuk pembaruan. Sempitnya pemahaman ragam intelektual yang sebenarnya tak terbatas, justru dibatasi oleh beberapa subjek yang seringkali di diskriminasi berdasarkan hierarki. Ironisnya, faktor utama yang menyempitkan dan membatasi konsepsi kapasitas diri kita adalah pendidikan kita sendiri.

Karenanya, pendidikan yang ada harus ditransformasi sebagai sistem yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip utama dari elemen. Liberal Arts dan Moving Class mendesain pendidikan nasional yang dapat menjawab kebutuhan kerja di masa depan. Sekaligus memenuhi kebutuhan menjadi pribadi lebih baik, adalah kunci penting. Mengetahui bentuk ekspresi tertinggi individu (elemen) membutuhkan proses kontinu bahkan tak jarang hingga sebelum akhir hayat. Menyiapkan perangkat cara belajar menjadi lebih penting dari subjek yang dipelajari. Terinspirasi dari pengalaman saya dalam mencari tempat belajar yang tepat, ada beberapa fitur dari pendidikan tinggi US dan UK yang dapat kita adopsi. Membuat sistem pendidikan SMA Indonesia yang menjunjung tinggi kreativitas sebagai pendukung pencarian elemen siswa sekaligus menyiapkan mereka dengan skill-skill siap kerja.

Ide saya adalah dengan cukup mengubah manajemen pendidikan. Universitas Harvard terkenal dengan sistem kurikulum liberal arts yang unik. Memberikan ruang bagi pembelajar untuk belajar apa saja yang diinginkan sekaligus memilih sebuah spesialisasi. Kurikulum mereka secara besar dapat dibagi menjadi dua bagian. Subjek konsentrasi 60% dan pendidikan umum 40% ( Aesthetic dan Culture, Ethics dan Civics, Histories, Societies, Individuals, dan Science dan Technology in Society).

Salah satu materi utama yang dapat dimasukan adalah materi critical thinking, research, dan pendidikan karakter/moral. Sedangkan untuk konsentrasi (60%) adalah ruang untuk mengeksplorasi elemen. Pilihan beberapa subjek dan hasil karya (ekstrakurikuler) yang dibuat selama SMA diberikan bobot yang sama.

Ujian atau tes bukan lagi dilaksanakan sebagai satu tujuan fokus akhir siswa melainkan sebagai tolak ukur pendukung untuk mengetahui kemajuan pengembangan elemen siswa tiap semester. Dengan demikian tes hanyalah sebagai jembatan antara SMA dan Universitas.

Mungkin perlu UU baru sebagai payung hukum perubahan. Terlepas dari kondisi yang ada, individu pengejar mimpi harus tetap optimis. Saya bukanlah siswa yang berprestasi dan hebat di mata orang pada umumnya. Namun hidup ini adalah permainan jangka panjang. Kita semua berhak untuk menjadi lebih baik. Menemukan elemen pribadi adalah cara terbaik untuk berkontribusi dan membantu orang seluas-luasnya. Saya yakin diluar sana banyak yang seperti saya. Mengejar mimpi yang diluar jangkauan. Hanya satu saja yang dibutuhkan, keberanian untuk berimajinasi. (ila)

*Penulis merupakan alumni Kolese De Britto Jogjakarta angkatan 2018 yang sedang mengejar mimpi.