Tanpa paksaan, tanpa rekayasa, jumlah penduduk di Kampung Pitu, Jogjakarta, selalu tujuh keluarga. Padahal, mereka tak pernah menutup diri. Warga bebas tinggal, merantau, atau menikah dengan pendatang.

DRIAN BINTANG SURYANTO, Gunungkidul, Jawa Pos

PERNIKAHANNYA telah berlangsung bertahun-tahun. Namun, selama itu pula, Sugito masih menumpang di kartu keluarga (KK) Yatnorejo, ayahanda sang istri Lasmini.

Padahal, Sugito dan istri sudah dikaruniai seorang anak waktu itu, Briyan Amanda Putra Pratama. “Akhirnya tanpa woro-woro ke warga sekitar, ya sudah saya langsung urus KK sendiri saja,” katanya.

Bikin KK harus woro-woro? Di tempat lain mungkin sama sekali tidak perlu.

Tapi, Sugito dan keluarga tinggal di Dusun Nglanggeran Wetan, Kabupaten Gunungkidul, yang selama ini dikenal sebagai “Kampung Pitu”.

Pitu berarti tujuh dalam bahasa Jawa. Dinamakan demikian karena selama ini kampung tersebut hanya “boleh” dihuni tujuh keluarga. Keluarga di sini dihitung berdasar KK.

Boleh harus diberi tanda kutip karena sebenarnya tak ada aturan tertulis di dusun tersebut yang mengharuskan jumlah penduduk mesti tujuh KK. Tapi, tiap kali itu dilanggar, selalu saja ada yang geseh. Selalu ada masalah.

Itu pula yang terjadi ketika Sugito akhirnya punya KK. Padahal, sudah ada tujuh KK saat itu di dusun yang merupakan bagian dari Desa Nglanggeran tersebut. Masalah akhirnya terselesaikan dengan mengembalikan salah satu keluarga yang telah ada ke KK milik orang tuanya.

“Karena ternyata dia masih cucu dari salah satu warga di sini. Jadi masih bisa satu KK,” jelas Sugito kepada Jawa Pos yang mengunjungi Kampung Pitu Kamis (18/7) lalu.

Berada di Kecamatan Patuk yang bisa dijangkau dari pusat Kota Jogjakarta dalam 45-60 menit, asal mula Kampung Pitu hanya diketahui berdasar sejarah tutur. Karena itu, tak ada yang tahu kapan persisnya kampung tersebut mulai dihuni.

Dari cerita turun-temurun, konon ada seorang abdi dalem dari Keraton Jogjakarta yang menemukan sebuah pusaka. Pusaka itu ditemukan di sebuah pohon bernama kinah gadung wulung.

Pihak keraton pun akhirnya memulai sebuah sayembara. Siapa pun yang bisa merawat pusaka tersebut akan diperbolehkan untuk tinggal di kawasan itu.

Berpuluh-puluh orang pun mencoba peruntungan. Namun, tidak ada satu pun yang betah dan tinggal di kawasan tersebut. Hingga menyisakan satu orang: Eyang Iro Kromo.

Karena kebolehannya dalam bertahan hidup, juga mengemban tugas sebagai perawat pusaka, Eyang Iro Kromo pun diberi izin oleh keraton untuk tinggal di kawasan itu. Dia pun bersumpah hanya keturunannya yang bisa menghuni kawasan tersebut. Dan hanya boleh dihuni tujuh keluarga.

“Tapi, pohonnya yang mana, pusakanya seperti apa, kami juga tidak pernah tahu. Itu cuma ceritanya saja,” ucap Dedy Setiawan, ketua RT setempat.

Penduduk tertua di sana adalah Mbah Rejo yang tercatat kelahiran 1928. “Mulai saya kecil, jumlah penduduk di sini memang sudah tujuh (keluarga, Red),” katanya.

Saat ini total ada 30 orang yang berdomisili di Nglanggeran Wetan. Mereka tercakup dalam tujuh KK. Secara keseluruhan ada sembilan rumah di sana, tapi hanya tujuh yang dihuni.

Namun, semua itu tidak berarti kampung tempat situs Gunung Api Purba berada tersebut tak pernah berpenduduk lebih dari itu. Pada 1980-an Nglanggeran Wetan sempat dihuni 12 KK.

Mereka tinggal di sembilan rumah yang ada. Namun, ungkap Dedy yang mendapat cerita dari para warga senior, selalu ada saja halangan yang terjadi. Sehingga ada lima keluarga yang akhirnya memutuskan untuk pergi dari kampung tersebut. “Bukan musibah, cuma tidak kerasan saja,” ujar Dedy.

Semuanya terjadi secara alamiah. Tak ada paksaan. Yatnorejo yang bersama sang istri Sumbuk dikaruniai tujuh anak, misalnya, tak pernah memaksa anak-anaknya tinggal atau pergi dari desa itu.

“Kayak Lasmini itu kan ketemu suaminya saat kerja di Jogja. Baru setelah menikah kembali ke sini,” katanya.

Warga juga dengan tangan terbuka menerima pendatang. Dedy yang kini dipercaya sebagai ketua RT itu contohnya. Juga Sugito.

Dalam bukunya, Etika Jawa, Franz Magnis-Suseno menyebutkan, salah satu kaidah dasar masyarakat Jawa adalah prinsip kerukunan. Rukun, tulis Magnis, adalah tindakan untuk tidak mengganggu keselarasan hidup yang sudah ada. Menghindari terjadinya konflik.

Minimnya lahan pertanian juga turut berperan “menjaga harmoni” di Nglanggeran Wetan. Di lahan yang umumnya terletak di sebelah rumah, warga menanam jagung, singkong, dan umbi.

Hanya satu warga, Dalino Adi Suwito, yang punya lahan padi. Letaknya dekat sumber air. “Biasanya yang punya lahan ya di dekat-dekat sini saja. Soalnya, kalau mau bertanam di hutan, lahannya kering,” terang Dedy.

Menanam di kawasan hutan juga sulit mengharapkan hasil maksimal. “Soale, lek ditanem nang hutan, ngkok dipangan ketek (Soalnya, kalau ditanam di hutan, nanti dimakan monyet, Red),” kata Yatnorejo.

Nglanggeran Wetan yang berada di kawasan perbukitan memang dikelilingi hutan. Jarak antar-rumah warga 500 meter hingga 1 kilometer. Sekolah dan puskesmas terdekat berada di pusat Desa Nglanggeran.

Dengan naik motor pun masih 15-20 menit untuk menjangkaunya. Jalan kaki? Menurut warga sekitar yang sudah terbiasa melakukannya, makan waktu sampai dua jam.

Keterpencilan plus keterbatasan fasilitas itu, ketika dihadapkan dengan keterbukaan para orang tua membolehkan anak-anak mereka merantau, yang akhirnya turut menjaga “keseimbangan” di Nglanggeran Wetan.

Sehingga tetap jadi Kampung Pitu. Tapi, di sisi lain, ketenangan dan ketenteraman Kampung Pitu pula yang membuat pendatang seperti Dedy dan Sugito betah. “Kami hidup dari yang kami tanam dan pelihara,” ucap Dedy.

Warga hanya pergi ke hutan untuk mencari makan untuk ternak sapi dan kambing mereka. Sesekali saja mereka mengumpulkan kayu dan bambu. Sekadar untuk menjadi bahan bakar di dapur atau tambahan untuk memperbaiki rumah.

Magnis dalam Etika Jawa menjelaskan bahwa ruang lingkup kehidupan orang Jawa adalah masyarakat dan alam. Kesatuan antara manusia dan alam itu, baik alam empiris maupun metaempiris, telah melahirkan sebuah koordinat (perhitungan) tertentu.

Di Nglanggeran Wetan, keseimbangan dengan alam itu benar-benar dijaga. Warga tak pernah mengambil lebih dari yang dibutuhkan. Semua hasil panen yang mereka peroleh selalu mereka konsumsi sendiri. Semua hasil ternak yang mereka dapatkan pun akan mereka konsumsi sendiri. Jika berlebih, barulah warga akan pergi ke pasar untuk menjual hasil panen ke Pasar Kecamatan Patuk.

Karena itu, seperti dikatakan Dedy, tak pernah ada musibah bahkan ketika jumlah penduduk melebihi tujuh keluarga. Cuma tidak kerasan. Mungkin itu cara alam menjaga keseimbangan di Kampung Pitu. (jpc/riz)