RADAR JOGJA – Jogja Street Sculpture Project #3 (JSSP #3) mengadakan artist talk dengan pembicara kelompok Mata Air dan Mata Kayu. Obrolan menarik di Pendhapa Art Space, Minggu (1/12) itu dipantik oleh salahs atu kurator, Soewardi.
Marketing dan komunikasi Asosiasi Pematung Indonesia (API) Satya Brahmantya mengatakan, artist talk bertujuan menyosialisasikan karya-karya yang ada di JSSP #3. Yaitu dengan mengundang dua kelompok seniman untuk membicarakan karyanya.
Dipilihnya kelompok Mata Air dan Mata Kayu karena dinilai merepresentasikan anak muda dan sebagai menyiapkan regenerasi.
“Kini kita berbicara disruptif era revolusi 4.0. Perubahan konstelasi yang terjadi harus disikapi. Harapannya anak-anak muda lebih aktif di API, JSSP dan acara lainnya,” tuturnya.
Anak muda menurut Satya, berkarya bisa dengan cara yang lain, yang tidak lagi konvensional. Mata Air berusaha menggeser stigma patung tiga dimensi, monumental, besar, dan sebagainya.
Mereka menekankan konseptual tidak lagi monumental, menandai titik-titik suatu wilayah dengan batu kecil, didukung oleh teknologi gawai, google maps dan google earth,”
Karya Mata Air oleh Kusna Hardiyanto, Liflatul Muhtarom, Dedy Maryadi, Purwanto dan Galuh Kusuma Atmaja berjudul A Ritual that Marks the Boundary Line.
Konsep karya ini menurut Liflatul Muhtarom, yaitu menandai sumbu batas garis imajiner secara simbolis dan diaplikasikan secara digital. Dengan memvisualkan titik batas ujung utara dan selatan.
Adanya titik tersebut diharapkan audiens bisa memvisualkan garis imajiner dengan nyata dalam salah satu teknologi digital. Serta mewujudkan imajinasi masyarakat menjadi nyata dengan adanya simbol di titik masing-masing sumbunya.
“Karya ini melibatkan tiga elemen yaitu patung, video, dan teknologi,” papar Liflatul Muhtarom.
Sementara Lavatory judul karya Mata Kayu dari Albertho A.A. Wanma dan Bara Masta mengusung konsep, seperti halnya ruang tamu, kamar tidur, dapur dan ruangan ruangan lain dalam sebuah bangunan atau rumah.
Toilet (lavatory) juga memiliki fungsi yang penting. Toilet adalah ruangan yang dikhususkan untuk aktifitas yang sangat privasi bagi setiap orang. Fungsi utamanya sebagai tempat membuang hajat, suatu rutinitas makhluk hidup (manusia) yang tidak bisa disepelekan.
Pentingnya ruangan ini dapat dilihat dengan adanya penyediaan berbagai jenis dan bentuk toilet pada ruang publik. Yang secara tidak langsung dimaksudkan untuk mendukung aktifitas manusia.
“Kami merespons garis imajiner bukan secara fisik melainkankan ruang pameran. Tidak ada tendensi khusus terhadap garis. Muncul ide membuat suatu bentuk yang cukup interaktif dan kami memilih toilet. Kami mematungkan toilet dari ruang fungsional menjadi tidak fungsional. Tapi tetap mempertahankan unsur bangunan toilet seperti dinding dan atap,” ujar Albertho.
Soewardi menilai karya dari Mata Air relevan dengan pesatnya perkembangan teknologi di masa kini dan merupakan hal yang menarik. Mengombinasikan seni patung dengan perangkat gawai. Sedangkan karya dari Mata Kayu menurutnya merupakan suatu bentuk kritik. Bahwa toilet, di beberapa tempat sering kali dikomersialkan.
Tidak mengubah objek toilet mempertegas bentuk sebagai media kritik. Hal serupa juga diungkapkan oleh Dunadi salah seorang pematung senior. “Konsep toilet bisa berarti kritik atau edukasi kepada masyarakat bahwa buang air besar bukan persoalan jorok melainkan melibatkan keindahan juga,” ujarnya.
“Pemanfaatan teknologi dalam dunia seni patung menurut saya sangat wajar, apalagi ini diinisiasi oleh anak muda. Pengalaman menelusuri patung lewat google maps melibatkan kemampuan kognitif. Titik di utara dan selatan jika disambung melewati akan melewati berbagai tempat. Kaitannya dengan seni patung selain penanda fisik, konsep juga menjadi penting. Hal itu yang menonjol dari karya kelompok Mata Air,” ungkap Anuspati pematung senior. (sce/riz)