RADAR JOGJA – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dr Haedar Nashir resmi menyandang predikat profesor. Pria kelahiran Bandung Selatan 61 tahun silam ini Kamis (12/10) dikukuhkan sebagai guru besar ilmu sosiologi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Pidato pengukuhan Haedar Nashir sebagai guru besar terbilang istimewa. Sejumlah tokoh hadir negeri ini hadir dalam acara yang dilaksanakan di Sportorium UMY. Mulai pejabat, dan mantan pejabat, menteri, politisi hingga tokoh masyarakat.
Sebut saja ada mantan Wapres Jusuf Kalla, sejumlah menteri seperti Menko PMK Muhadjir Effendy dan Menag Fachrul Razi. Kemudian Ketua Umum PAN yang juga Wakil Ketua MPR Zulkifli Hasan, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
Selain itu, tampak pula mantan Ketu Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, politikus PAN Hanafi Rais, Wagub DIJ KGPAA Paku Alam X, dan Kapolda DIJ Irjen Pol Ahmad Dofiri.
Haedar Nashir dikukuhkan sebagai guru besar ke-14 di UMY. Dalam pengukuhan yang dipimpin Ketua Senat UMY Heru Kurnianto Tjahjono ini, Haedar menyampaikan pidato yang berjudul “Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan Perspektif Sosiologi”.
Ia menuturkan, Indonesia dalam kurun waktu terakhir seakan berada dalam darurat ‘radikal’ dan ‘radikalisme’. Radikalisme yang dikhususkan mengenai terorisme menjadi isu dan agenda penanggulangan utama.
Berangkat dari permasalahan itu, maka penting dikaji terutama dengan menggunakan perspektif sosiologi untuk menjelaskan masalah radikalisasi di Indonesia secara mendalam. Menurutnya, narasi waspada kaum ‘jihadis’, ‘khilafah’, dan ‘wahabi’ yang disertai berbagai kebijakan deradikalisasi saat ini meluas di ruang publik.
“Isu tentang masjid, kampus, BUMN, majelis taklim, bahkan lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) terpapar radikalisme demikian kuat dan terbuka di ruang publik yang menimbulkan kontroversi nasional,” kata Haedar.
Dikatakan, masalah radikalisme bukan persoalan sederhana dalam aspek apa pun di berbagai negara. Sehingga memerlukan pemahaman yang luas dan mendalam agar tidak salah dalam cara pandang dan cara menghadapinya.
Akan menjadi keliru manakala memaknai radikal dan radikalisme sebagai identik dengan kekerasan, terlebih disamakan dengan terorisme. “Karena pada dasarnya sejarah menunjukkan bahwa radikalisme terjadi di banyak aspek dan semua kelompok sosial,” ungkapnya.
Alumni S1 STPMD ‘APMD” Jogja dan S2 UGM ini lebih lanjut mengatakan, Indonesia setelah reformasi sesungguhnya mengalami radikalisasi dan terpapar radikalisme dalam kuasa ideologi pada sistem liberalisme dan kapitalisme baru. Lebih dari sekadar radikalisme agama dalam kehidupan kebangsaan.
Radikalisme ideologi, politik, ekonomi, dan budaya sama bermasalahnya dengan radikalisme atau ekstremisme beragama bagi masa depan Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia harus mampu menyelesaikan masalah radikalisme dalam kehidupan politik, ekonomi, budaya, dan keagamaan. Hal ini agar berjalan ke depan sesuai landasan, jiwa, pikiran, dan cita-cita nasional.
Haedar memberikan alternatif untuk melakukan moderasi sebagai jalan alternatif dari deradikalisasi. Agar sejalan dengan Pancasila sebagai ideologi tengah dan karakter bangsa Indonesia yang moderat. Serta untuk menjadi rujukan strategi dalam menghadapi radikalisme di Indonesia.
Menurut Haedar, radikal tidak dapat dilawan dengan radikal. Sama halnya dalam strategi deradikalisasi versus radikalisasi serta deradikalisme versus radikalisme. Hal ini tidak bisa dilakukan jika Indonesia ingin mengatasi radikalisme dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk menghadapi radikalisme agama. (eno/laz)