PROTAGONIS di film ini adalah Rara yang bertubuh besar warisan gen dominan dari sang ayah, sedangkan saudarinya yang bernama Lulu bertubuh langsing mewarisi gen dominan sang bunda yang merupakan mantan peragawati kondang. Yang paling bisa memahami beratnya menghadapi dunia bagi pemilik tubuh ukuran ekstra hanyalah sang ayah. Sepeninggal sang ayah, tongkat estafet pengertiannya dipegang oleh sang pacar, Dika.

Ketika di tempat kerja Rara berpeluang besar mendapatkan promosi jabatan, dia mendapat ”tamparan keras” berupa pernyataan dari bosnya karena dibilang untuk urusan berkonsep Rara sangat layak dipromosikan, sayangnya secara casing dia dianggap tak memenuhi syarat standar umum cantik.

Tamparan ini lantas mendorong Rara yang semula cuek, tahan nyinyiran, dan menikmati fisiknya apa adanya untuk mengubah penampilannya menjadi langsing #bodyangoals. Sayangnya, Rara tak mengantisipasi bahwa ke depan dengan adanya perubahan ini dapat mengancam hubungan emosional antara Rara dan orang terdekat yang selalu menyayanginya tanpa syarat.

Plot film ini sarat nuansa dramedi formula tiga babak khasnya Hollywood. Memang demikian, tapi untungnya justru formula khas dari Ernest Prakasa yang selalu membawa rombongan rekan komikanya dapat sedikit berkontribusi penting dalam plotnya. Terutama untuk pilihan solusi alias babak akhirnya.

Ditulis oleh Meira, istrinya Ernest Prakasa, skrip film ini relevan dan mudah tersambung dengan kehidupan personal siapa saja, tak hanya terbatas untuk kalangan cewek. Bagi cowok pun juga diberi banyak perspektif dalam film ini. Mulai dari mentalitas pokoknya cuma yang bohay boleh duduk bareng satu meja makan di kantin. Juga ngelontarin kata-kata tajam tentang body-shaming berbalut rasionalitas faktual sehingga terdengar elit sampai dengan yang mau dan mampu melihat seorang cewek lebih dalam dari sekadar penampilan luar.

Sejauh yang saya ingat, justru pada cerita adaptasi dari buku tulisan istrinya inilah Ernest sukses memfungsionalkan peran-peran para komika ketimbang di film sebelumnya. Meski sempat bereaksi datar, film ini bisa membuat nyengir dan ngakak.

Mengenai tema standar kecantikan, kesempurnaan, serta rasa rendah diri dan ketidakamanan atas penampilannya, film ini tak berusaha untuk muluk-muluk dan membawa muatan yang berat. Walau begitu, menarik untuk dinikmati sekaligus dijadikan referensi diskusi santai tentang body-shaming dan body-goals. (ila)

*Penulis adalah penggemar film dalam negeri dan penikmat The Chemical Brothers yang bermukim di Jogja Utara