MENGANGKAT film berdasar figur nyata menyimpan kompleksitas khas. Sebab, selain dituntut menarik laiknya bangunan cerita fiksi, juga perlu mampu menjelaskan urgensinya. Film ini ada unsur menghiburnya, tapi belum berasa urgensinya sama sekali.

Satu yang terpampang nyata secara eksplisit ingin dicapainya, yakni ingin mengangkat jiwa nasionalisme Ainun yang inspiratif. Lewat bangunan plot yang ada, pengembangan karakter Ainun di film ini mengalir tak terasa alamiah. Sebab, malah lebih terasa kuat bahwa karakternya ”dituntut” untuk memenuhi unsur menghibur dan harunya cerita atas nama dramatisasi ala Hollywood.

Gaya bercerita yang dipilih adalah kilas balik ala formula film Hollywood yang terasa sangat familiar. Bergeraknya cerita dimulai saat setahun setelah meninggalnya Ainun. Cerita Ainun direkonstruksi lewat cerita Habibie kepada cucu-cucu dan keluarga besarnya saat berkumpul di kediaman sang eyang.

Tentu bukanlah suatu persoalan dengan hal ini, karena merupakan pilihan artistik yang bukan perkara benar atau salah. Hanya, penguraian dan pemenggalan bagian-bagian rekonstruksi ceritanya tak cukup menarik atensi karena ada bagian yang saya nilai tak beralasan kuat mengapa perlu disajikan.

Sisi hiburan film ini adalah adegan kecil dramatis yang berefek emosional, sehingga di beberapa tempat sensasi dramatisasi dapat dialami. Tentu tak adil jika mengabaikan sisi positif ini. Namun, awal buruk dengan menambahkan testimoni dari produser sebelum film dimulai adalah pilihan yang keliru karena mengawali pengalaman menonton dengan sebuah kekikukan.  Adegan awal yang memperlihatkan wajah Reza Rahadian dipermak habis pun bisa ditangkap hangat sekaligus dingin oleh penonton. (ila)

*Penulis adalah penggemar film dalam negeri dan penikmat The Chemical Brothers yang bermukim di Jogja Utara