RADAR JOGJA – Ketua Umum Yayasan Lembaga Perlindungan Anak (YLPA) DIJ Sari Murti Widyastuti mendorong penyidik Satreskrim Polres Sleman bertindak tegas atas kasus pelecehan seksual. Terutama kasus yang dilakoni oleh guru PNS bernama Supardjianto, 48. Tak hanya pidana, Sari Murti juga berharap ada sanksi perdata.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) ini menegaskan sanksi tersebut sebagai wujud tanggung jawab pelaku. Menurutnya sanksi pidana tidak cukup. Apalagi beban psikis yang ditanggung korban tidak kecil.

“Pelaku tidak saja (dihukum) secara pidana tapi dia juga harus bertanggung jawab secara perdata. Karena telah merugikan masa depan korbannya. Terlalu enak kalau pelaku hanya dipenjara saja,” tegasnya, Rabu (8/1).

Usia para korban yang masih anak-anak menjadi pertimbangan utama. Dalam usia tersebut, lanjut dia, aspek psikisnya sangatlah rentan. Terkadang luka batin akibat pelecehan tetap melekat hingga dewasa.

Kasus pelecehan seksual, menurutnya, tidak bisa diidentikkan dengan kasus kriminalitas biasa. Beban yang ditanggung oleh korban sangatlah besar. Apalagi dalam kasus ini, jumlah korbannya mencapai belasan.

“Artinya secara sadar pelaku melakukan tindakan tersebut. Jumlah korban banyak, ditambah kejadian berulang dalam kasus oknum guru itu,” katanya.

Pakar hukum ini juga mendorong pihak kepolisian lebih detil mendalami kasus ini. Berdasarkan penyidikan sementara, ada kemungkinan jumlah korban lebih banyak. Terutama latar belakang dan jejak rekam profesi pelaku.

“Polisi seyogyanya menggali lebih dalam motifnya serta latar belakang pelaku. Bisa jadi korbannya tidak hanya 12, bisa jadi lebih. Dalami sudah berapa lama jadi guru dan dinas dimana saja,” pesannya.

Terkait penanganan korban, menurutnya perlu dilakukan secara mendalam. Setidaknya beban luka psikis bisa terkikis. Ranah ini memerlukan peran dari sosok psikolog klinis.

Lingkungan rumah dan sekolah, lanjutnya, harus mendukung penuh. Tujuannya agar semangat anak kembali seperti saat sebelum menjadi korban pelecehan. Kolaborasi antara guru, orangtua dan lingkungan sekitar menjadi sangat krusial.

“Tentu pemulihan traumatik harus melibatkan pakar, salah satunya psikolog klinis. Tapi peran orang terdekat jauh lebih penting. Korban harus di-assesment berulang kali, hingga semangatnya kembali seperti sedia kala,” katanya.

YLPA pernah menangani kasus serupa. Tepatnya medio 2015 hingga 2016. Pelakunya juga memiliki peran yang strategis, sebagai tenaga pendidik. Korban didominasi usia anak SD hingga SMP.

Penanganan kasus maupun korban berlangsung komprehensif. Tak hanya fokus pada sanksi kepada pelaku tapi juga pendampingan kepada korban. Bahkan porsi penanganan korban jauh lebih besar.

“Kasus serupa pernah terjadi, tepatnya di Cepoko Bantul. Saat itu pelaku jabatannya strategis sebagai kasi (kepala seksi). Berkaca dari ini setidaknya perlu ada evaluasi rekruitmen tenaga pendidik, terutama psikisnya,” katanya. (dwi/tif)