RADAR JOGJA – Imlek makin dekat, tepatnya tanggal 25 Januari mendatang. Dalam perayaan Imlek, kue keranjang seperti tak bisa ditinggalkan. Menjelang perayaan tahun baru China ini, kue yang berbentuk bulat dan berwarna coklat itu turut membanjiri pasaran.
Salah satu tempat produksi penganan berbahan dasar ketan dan gula yang familiar di Jogja ini berada di Tukangan, Tegalpanggung, Danurejan. Perempuan Tionghoa lanjut usia, Sianywati, merupakan generasi kedua yang mengelolanya.
“Karena pelanggan masih banyak yang mencari, ya kami ada terus. Ada rasa kebanggaan, banyak orang yang suka. Ketika selalu dinanti, kami bikinnya jadi mantep,” kata Sianywati saat ditemui Radar Jogja kemarin.
Dua minggu lebih sebelum perayaan Imlek, perempuan 71 tahun ini bersama keponakan dan enam karyawannya sudah mulai memproduksi kue keranjang. Sebanyak 500 kilogram bahan baku utama yang dipersiapkan awal, yakni beras ketan.
Hampir setiap hari dia sudah sibuk mempersiapkan 200 buah kue keranjang dari dalam maupun luar Jogja. Misalnya Magelang, Purworejo, dan Gombong. “Ini langganan turun temurun. Kami biasa maksimal sampai empat hari sebelum Imlek,” tambahnya.
Sianywati mengatakan, pembuatan kue keranjang ini merupakan kegiatan rutin yang hanya dilakukan menjelang perayaan Imlek saja. Jika hari-hari biasa, dia hanya memproduksi kue Mangkok dan Bakcang. Itu pun hanya tergantung pesanan. “Ini (kue keranjang) hanya memenuhi pesanan Imlek saja. Kalau tidak Imlek, ndak laku,” katanya.
Proses pembuatan yang membutuhkan waktu dua hari, memerlukan ketelitian untuk mempertahankan rasa. Dimulai dari pemilihan bahan baku beras ketan, mengayak dan mencuci beras ketan hingga bersih, merebus gula pasir sampai enam jam harus tanak, dan mengukus sampai sembilan jam harus tanak pula. “Kuncinya di situ. Kalau nyuci, rebus, dan kukus asal-asalan kurang bagus dan kurang enak,” jelasnya.
Setelah proses mencuci beras ketan, kemudian menggiling hingga jadi tepung, kemudian pengadonan. Pengadonan ini juga butuh didiamkan selama semalaman. Pengukusan dilakukan hari selanjutnya hingga pencetakan. “Karena nunggu dingin dulu,” tambahnya.
Dalam proses pembuatan ini, dia tanpa bahan tambahan seperti vanili, pandan, durian, dan lain-lain. Dia hanya mengandalkan bahan dasar gula pasir saja. “Kalau sekarang kan banyak yang ditambah-tambahi. Kalau saya enggak,” ucapnya.
Tempat produksi kue keranjangnya merupakan usaha keluarga secara turun menurun sejak tahun 1960. Hingga saat ini masih mempertahankan cara manual dalam produksinya. Dia beralasan pembuatan dengan cara manual tidak akan menghilangkan citra rasa khas kue keranjang miliknya.
“Dari dulu kami sekeluarga buat kue keranjang ya manual. Makanya jangan berharap cepat hasilnya, karena kami mempertahankan kualitas,” tandasnya.
Kue keranjang dibanderol dengan harga Rp 40 ribu untuk satu kilogramnya. Itu juga sesuai paketan isinya 2, 3, dan 4 atau besar hingga kecil.
Kue keranjang ini tidak memiliki nama khusus sebagai merek atau brandingnya. “Semoga kami bisa memenuhi seluruh pesanan yang masuk,” harapnya. (wia/laz)