RADAR JOGJA – Jogjakarta rupanya belum benar-benar menjadi tempat yang aman bagi penyandang disabilitas. Khususnya kaum perempuan. Yayasan Center for Improving Qualified Activity In Live Of people with disabilities (CIQAL) selama 2019, menerima 29 aduan terkait kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas. Aduan tersebut tersebar di seluruh kabupaten/kota di DIJ.
Koordinator Program Advokasi CIQAL Ibnu Sucaka menyebut dari laporan yang diterima, 6 kasus merupakan kekerasan seksual, 19 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan empat kasus diskriminasi oleh masyarakat.
Sebaran kasus terbesar masih terjadi di Sleman dengan 19 kasus, Bantul 9 kasus dan Jogja satu kasus. ”Korban kekerasan tertinggi terjadi pada ragam disabilitas mental (grahita),” jelas Ibnu di Universitas Atma Jaya Jogja, Kamis (9/1).
Dijelaskan, tidak banyak kasus terhadap perempuan penyandang disabilitas yang tertangani secara hukum. Penyebabnya masyarakat dan keluarga enggan menjadi saksi.
Apalagi, kasus kekerasan seksual pun dianggap sebagai aib. Sementara dukungan dan kepedulian masyarakat kepada korban masih lemah.
”Sebenarnya angkanya masih bias lebih, karena sampai saat ini ada yang tidak mau melaporkan,” jelasnya.
Sebenarnya, DIJ sudah memilki banyak regulasi terkait dengan upaya perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan. Diantaranya Perda Nomor 3/2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Perda 4/ 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas.
”Masih banyak perda yang dikeluarkan oleh kabupaten,” jelasnya.
Sementara itu Ketua Prodi Magister Ilmu Komunikasi Pascasarjana UAJY Lukas S. Ispandriarno menyoroti komunikasi media, orang, komunitas, atau organisasi penyandang disabilitas seperti CIQAL. Dalam penelitiannya ditemukan media memberikan penggambaran yang negatif terhadap penyandang disabilitas.
”Media kerap memilih narasumber dari kalangan pemerintah dan jarang mengangkat isu hak-hak disabilitas,” keluhnya. (cr2/bhn)