RADAR JOGJA – Palang Merah Remaja (PMR) belum menjadi kegiatan ekstrakurikeler di banyak sekolah di Purworejo. PMR hanya dijadikan ekstrakurikuler tambahan.

Padahal, keberadaan PMR di sekolah sangat penting. Ini mengingat Purworejo merupakan wilayah yang memiliki potensi bencana alam sangat tinggi. Tidak hanya potensi bencana banjir dan longsor. Juga, potensi bencana tsunami.

Hal itu disampaikan Kepala Seksi Pelayanan Kesehatan dan Sosial (Kasi Yankesos) PMI Purworejo Haryo Setyoko di sela kegiatan simulasi bencana gempa di MAN Purworejo pada Sabtu (11/1). Dari puluhan sekolah jenjang SMA/SMK di Purworejo, tercatat baru ada dua sekolah yang mewajibkan siswanya mengikuti ekstrakurikuler PMR.

“Selain MAN Purworejo ini, ada SMA 2 Purworejo. (SMA/SMK) yang lain, belum,” tutur Haryo.

Menurutnya, PMR hampir sama dengan ekstrakurikuler Pramuka. Keduanya sama-sama memberikan banyak kecapakan bagi siswa. Bahkan, khusus PMR, tak sekadar membantu di bidang kesehatan. PMR juga memiliki fungsi untuk memberikan penguatan bagi siswa dalam mengelola bencana.

“Yang banyak ditekankan sekarang ini adalah kebencanaan. Tidak hanya saat mereka di sekolah, tapi juga di lapangan atau lingkungan tempat tinggal,” tambahnya.

Dengan menerapkan PMR sebagai ekstrakurikuler wajib, anak secara perlahan akan diberikan banyak pengetahuan mengenai kesehatan dan penanganan kebencanaan. “Jadi, memang efektif kalau sekolah mewajibkan ekstra ini (PMR), di luar Pramuka,” tambahnya.

Pembina PMR MAN Purworejo Aminuddin mengungkapkan, sekolahnya sudah beberapa tahun terakhir menjadikan PMR sebagai ekstrakurikuler wajib, selain Pramuka. Waktunya setiap Jumat di mana setiap pekannya bergantian dengan Pramuka.

“Kami memandang PMR ini penting karena bangunan sekolah kita itu sempit. Anak perlu diajak tanggap saat ada kejadian bencana di sekolah,” tutur Aminudin.

Banyak manfaat yang diperoleh dari memiliki kemampuan dasar dalam melaksanakan fungsi kepalangmerahan. Saat dibutuhkan ketika terjadi bencana, para siswa akan siap diterjunkan.

“Memang ada anak-anak tertentu yang diberikan pendidikan lebih karena mereka menjadi motor penggerak di sekolah,” katanya.

Minat siswa tergabung dalam PMR sangat besar. Setidaknya, dalam setiap pembukaan regu inti, cukup banyak siswa yang mendaftar. Jumlahnya sampai sekitar 70 anak.

Afina Fidiyana, juga pembina Pembina PMR MAN Purworejo, mengungkapkan, simulasi yang dilaksanakan ini merupakan tindak lanjut dari kegiatan pelatihan yang diberikan guru. Jadwal simulasi sengaja tidak disampaikan kepada para siswa dengan tujuan melihat respons para siswa anak saat mengetahui terjadi bencana.

“Jadi, ya tadi memang tampak anak-anak yang panik karena memang kita tidak memberitahukan sebelumnya. Melihat respons yang ada. Anak sudah cukup tanggap,” kata Afina. (udi/amd)