RADAR JOGJA – Sekretaris Desa Sidoluhur Fajar Nugroho menuturkan jajarannya curiga sejak lama terhadap salah satu warganya, Toto Santoso. Apalagi sosok yang mengaku sebagai raja Keraton Agung Sejagat itu memiliki jejak rekam negatif. Terlibat dalam organisasi yang sempat diawasi, salah satunya Jogja DEC.

Tak sekadar menghuni desa setempat, Toto sempat mengajukan beragam perizinan. Mulai dari koperasi, organisasi masyarakat Laskar Merah Putih hingga akhirnya menjadi kuliner angkringan. Langkah terakhir ditempuh karena seluruh perijinan organisasi ditolak pemerintah desa.

“Awalnya bertemu 2018, dia dan komunitasnya akan mendirikan angkringan disitu. Bungkusnya saja yang angkringan, tapi ternyata buat kumpul anggota-anggotanya,” jelasnya saat ditemui di Kantor Desa Sidoluhur, Rabu (15/1).

Pengawasan terhadap Toto berlangsung ketat. Segala informasi terus dikumpulkan dari beberapa sumber. Termasuk rekam jejak dalam lembaga Jogja DEC. Upaya pendekatan terus dilakukan oleh pihak pemerintah desa untuk mengetahui rencana tinggal dan usaha Toto. Pada pertemuan lanjutan tersebut, Toto mengaku ingin mendirikan usaha angkringan dan pengembangan produk pertanian.

“Lalu awal 2019, muncul laporan dari warga. Lokasi tersebut mulai digunakan sebagai lokasi ritual. Aktivitas ini membuat warga sekitar resah, apalagi pengikutnya bukan warga sekitar dusun dan desa,” katanya.

Fajar menuturkan aktivitas ritual mirip kejawen. Namun kostum yang digunakan cenderung nyeleneh. Kostum tersebut menabrak tatanan pakem adat Jawa.

Ritual berlangsung dari sore hingga malam hari. Lokasinya di halaman kontrakan Toto. Rumah ini sendiri berbatasan langsung dengan sawah untuk sisi utara. Sedangkan sisi selatan berbatasan dengan warung kelontong milik warga bernama Deki Rimawan.

“Seperti kejawen tapi pakaian tidak surjanan, pokoknya menabrak pakem. Pakaiannya mirip seperti yang dipakai di Purworejo,” ujarnya.

Di satu sisi pemerintah desa tidak bisa melarang kegiatan jika mengacu pada kreativitas budaya. Ternyata lambat laun kegiatan justru menyimpang, baik dari tatanan sosial maupun tatanan budaya yang sudah ada.

“Ritualnya diikuti warga luar Sidoluhur. Dari Bhabinkamtibmas kami (Sidoluhur) sempat mendata pengikutnya ada 300 orang. Awalnya memang tidak melarang, tapi karena ada laporan warga kami langsung bertindak,” katanya. (dwi/tif)