RADAR JOGJA – Angka stunting di Kabupaten Bantul pada 2019 menurun tipis dibandingkan tahun sebelumnya. Hanya satu persen. Berdasar data Dinas Kesehatan (Dinkes) Bantul, angka stunting Bantul 8,33 persen dari total 57.606 bayi. Jika dihitung periode Februari hingga Agustus 2018, stunting Bantul mencapai 9,7 persen. Atau 4.733 bayi.”Kami akan terus menekan angka ini dengan edukasi dan regulasi,’’ kata Kepala Dinas Kesehatan Bantul Agus Budi Raharja, Kamis(16/1).

Regulasi yang dilakukan adalah dengan menyusun Peraturan Bupati (Perbup) No 72/ 2019. Di dalamnya disebutkan, semua sektor memiliki tugas untuk menekan angka stunting pada bayi ini.

Kendati angka stunting menurun, pola asuh dan budaya ASI ekslusif di Kabupaten Bantul dinilai masih buruk. Pola asuh yang berpindah satu dengan lainnya dapat berpengaruh pada standar pola makan bayi. Sementara pemberian ASI esklusif selama enam bulan pertama belum sepenuhnya dilakukan.”Misalnya, bayi tiga bulan sudah diberikan asupan makanan lain. Padahal ini dapat berdampak pada pencernaannya,” tuturnya.

Dikatakan, mayoritas stunting atau pertumbuhan bayi kerdil disebabkan keadaan ekonomi keluarga miskin (Ggkin).  Selain itu pola asuh dan pemberian ASI ekslusif yang masih minim.”Nah, fokus treatment yang dilakukan yakni pelatihan pemberian makanan bayi dan anak (PMBA),” ungkapnya.

Kasi Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinkes Bantul Anugrah Wiendyasari mengungkapkan, 2018 dan 2019 Kecamatan Pajangan menjadi wilayah tertinggi angka stuntingnya. Pada 2018 mencapai 300 bayi. Kemudian 2019 menurun menjadi 244 bayi. Angka stunting itu tersebar di tiga desa. Yakni, Desa Triwidadi, Sendangsari, dan Guwosari.

Berdasarkan pengamatan pengamat gizi, gizi bayi di Pajangan yang minim tak selalu karena faktor ketidakmampuan dalam membelikan makanan yang layak. Tetapi mayoritas disebabkan minimnya edukasi  standar pemberian makanan untuk bayi. “Dengan pemberian sosialisasi dan informasi intensif diharapkan dapat menekan angka stunting menjadi lebih rendah lagi,” tuturnya. (mel/din)