RADAR JOGJA – Dirbinmas Polda DIJ Kombes Rudi Heru Susanto mengakui adanya peningkatan angka aksi kriminalitas jalanan. Medio 2017 hingga 2018 terjadi penurunan yang sangat signifikan, yakni 50 persen. Meningkat lagi memasuki medio 2019 hingga awal 2020.

Ada beberapa faktor yang menyababkan lonjakan ini. Hanya saja berdasarkan data para pelaku didominasi usia yang sama. Mayoritas para pelaku berusia pelajar atau bawah umur. Meski begitu, Rudi menjamin tetap adanya langkah tegas.

“Tapi yang diutamakan adalam preemtif, berupa pembinaan masyarakat dan melakukan pencegahan atau prefentif. Tapi langkah tegas represif tetap ada sebagai usaha yang terakhir,” jelasnya ditemui Mapolda DIJ, Selasa (4/2).

Jajarannya tetap mengedepankan aturan hukum yang berlaku. Penanganan tersangka bawah umur mengedepankan Undang-Undang Perlindungan Anak. Penyebutan tersangka diganti menjadi anak berhadapan dengan hukum (ABH).
Dalam tahapan ini setiap anak mendapatkan hak diversi hukum. Diversi sendiri memiliki batasan dan syarat. Paling utama, ancaman hukuman tindak pidana dibawah tujuh tahun. Syarat selanjutnya, tindak pidana bukanlah pengulangan.

“Bisa ditahan apabila kedua syarat tersebut dilanggar. Lalu anak telah berumur empatbelas tahun atau lebih dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih,” katanya.

Ditbinmas Polda DIJ juga telah menyusun beberapa strategi. Medio 2018 bersama Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIJ dengan sebuah kerjasama resmi. Setiap sekolah yang memiliki potensi ricu akan diawasi secara ketat.
Program ini tak semata-mata menekan dunia pendidikan. Terlebih gerakan yang dicanangkan tetap mengedepankan edukasi. Seperti keterlibatan Bhabinkamtibmas di setiap sekolah. Program ini bertajuk satu sekolah dua polisi (SSDP).

“SSDP ini menyasar sekolah-sekolah yang dianggap rawan. Selain bhabinkamtibmas juga ada peran fungsi dari kesatuan intelejen. Di luar ini Disdikpora juga mewajibkan adanya Waka Kesiswaan di masing-masing sekolah,” ujarnya.

Perwira menengah tiga melati ini juga meminta pihak sekolah membuka mata. Mayoritas sekolah, lanjutnya, memiliki semacam geng pelajar. Keberadaan kelompok ini kerap berdampak negatif. Terlebih mayoritas kegiatannya tak ada sangkut pautnya dengan akademis.

Pada tahapan ini muncul perekrutan anggota baru. Salah satu syarat untuk bisa bergabung adalah membuat onar. Sasarannya cenderung acak atau anggota dari geng pelajar lainnya. Cara ini merupakan wujud komitmen untuk bergabung.

“Rata-rata yang namanya geng sekolah itu memang ada di sekolah. Apakah itu diakui atau tidak oleh sekolah tapi faktanya memang ada. Sekolah harusnya tanggap, bukan sebaliknya menutup-nutupi dan seakan tidak melihat fenomena ini,” katanya. (dwi/tif)