RADAR JOGJA – Iwan Setiawan atau yang terkenal dengan nama Lok Iwon memiliki pandangan serius tentang batik. Tak hanya berorientasi pada bisnis semata. Ketua Paguyuban Batik Tamansari ini berharap agar batik nusantara benar-benar langgeng.
Beragam cara dia lakukan untuk melestarikan ragam corak batik. Walau beraliran kontemporer, Iwan tak melupakan basisnya. Pria kelahiran Tamansari, 11 Desember 1972 ini tetap menjaga ilmu dasar batik. Berupa motif-motif klasik khas Jogjakarta.
“Bagaimanapun juga motif klasik itu adalah identitas. Boleh berkreasi tapi tidak boleh melupakan dan meninggalkan motif-motif batik klasik,” jelasnya, Rabu (19/2).
Iwan memang tumbuh dan besar dalam lingkungan perajin batik. Apalagi tempatnya dilahirkan, terkenal sebagai sentra batik. Termasuk keluarganya yang menggeluti profesi ini secara tekun. Dia pertama kali membatik sejak usia kelas 5 Sekolah Dasar.
“Saya lupa tahunnya tapi itu 1980an awal mula saya mbatik. Saya generasi kedua, setelah bapak saya. Dari kecil memang sudah kenal batik. Lalu serius menekuni bahkan cari uang juga dari batik,” ujarnya.
Dia tak menampik batik memiliki prospek cerah. Itulah mengapa dia tertarik menekuni dunia ini. Iwan kecil sudah berani unjuk karya. Bahkan dia membiayai sekolahnya dari berjualan batik. Semua itu berawal saat Iwan duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.
Kala itu tepatnya era 1980an, Batik Tamansari sedang booming. Banyak perajin batik yang bisa hidup dari sektor ini. Seiring waktu, Iwan mulai berpikir lebih jauh. Dia ingin agar kesenian batik bisa tetap lestari.
“Ada semangat mengembangkan dan melestarikan batik. Sudah buka kursus membatik sejak tahun 1991 dan masih lanjut sampai sekarang. Muridnya mulai dari siswa SD hingga perguruan tinggi. Bahkan ada seorang profesor asal Kanada yang juga ikut belajar,” ujarnya.
Diakui olehnya perjalanan melestarikan batik tidaklah mudah. Perlu teknik dan pendekatan khusus dalam mengenalkan batik. Inilah yang dia rasakan saat mengajarkan batik kepada sebuah sekolah di Jogjakarta.
Awalnya Iwan mendapatkan curhatan dari kepala sekolah. Sudah berulang kali guru pelajaran membatik berganti. Penyebabnya para siswa tidak sepenuhnya tertarik. Alhasil dia mengubah pola pendekatan. Bukannya motif dasar klasik, Iwan justru mengajak siswa bereksplorasi.
“Saya ajak para siswa muter-muter Tamansari untuk melihat ragam batik. Akhirnya mereka tertarik karena coretan batik tidak harus motif klasik. Para siswa ini ternyata mikir motif klasik itu rumit,” katanya.
Pendekatan ini ternyata sukses. Para siswa semakin tertarik mendalami batik. Berkarya dengan beragam motif namun dengan gaya batik. Bagi Iwan cara ini tidak salah. Justru menjadi metode yang tepat dalam melestarikan ragam corak batik.
“Saya juga minta sekolah memajang hasil karya siswa. Agar ada rasa bangga saat melihat karya mereka sendiri. Baru setelah suka, saya kenalkan dengan motif klasiknya. Sehingga anak-anak menjadi lebih tertarik,” ujarnya.
Dalam Paguyuban Batik Tamansari, Iwan meminta agar ada inovasi. Sehingga esensi dari batik benar-benar terlestarikan. Selain itu juga agar para pengrajin batik bisa bersaing dalam dunia garmen. Apalagi saat ini serbuan printing semakin merajalela.
“Jadi harus menguatkan ciri khas motif. Kekinian tapi tetap menonjolkan esensi batik. Cara ini tentu bisa membuat batik tetap terjaga sampai kapanpun,” katanya. (dwi/tif)