RADAR JOGJA – Wali Kota Jogja Haryadi Suyuti (HS) tampil sebagai saksi dalam sidang lanjutan suap proyek rehabilitasi saluran air hujan (SAH) dengan terdakwa Eka Safitra dan Satriawan Sulaksono, di Pengadilan Tipikor dan Hubungan Industrial Jogja, Rabu (26/2).  Jaksa perlu menghadirikan Haryadi karena namanya sempat disebut-sebut menerima fee dalam sidang sebelumnya.

Dalam keterangan sidang sebelumnya, ada catatan Kepala Bidang Sumber Daya Air (SDA) Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Kawasan Permukiman (DPUPKP) Aki Lukman Noor Hakim inisial-inisial kode nama yang bakal dapat jatah fee hasil uang yang dikumpulkan dari rekanan penyedia jasa tahun 2019. Salah satunya H yang diperuntukkan Wali Kota Jogja Haryadi Suyuti (HS) sebesar Rp 150 juta, permintaan dari kepala DPUPKP sebelumnya, Agus Tri Haryono. Termasuk mengalokasikan fee 0,5 persen pada proyek rehabilitasi SAH Supomo Cs melalui Aki.

Haryadi Suyuti membantah keterangan saksi sebelumnya. Ia menegaskan bahwa hal itu tidak benar. Dia tidak pernah memerintahkan jatah fee yang dimaksud dalam kode. Apalagi menerima besaran fee 0,5 persen dari proyek yang terjaring OTT KPK pada Agustus 2019. “Itu tidak benar. Saya tidak tahu orang menggunakan nama saya. Nama saya itu bisa dipakai, dijual untuk mempengaruhi dan membuat keputusan bagi orang lain,” katanya dalam persidangan kemarin.

Bantahan itu juga termasuk kaitan dengan istrinya, Tri Kirana Muslidatun atau akrab disapa Ana Haryadi yang disebut membawa salah satu rekanan dalam proses lelang proyek rehabilitasi SAH Supomo. “Silakan saja dibuktikan melalui Badan Layanan Pengadaan (BLP). Istri saya kenal saja tidak, dan datang ke BLP juga tidak,”  tambah Haryadi kepada wartawan usai sidang.

Ditanya terkait jajaran atau bawahannya yang bermain uang tidak resmi dari rekanan penyedia jasa, HS mengaku tidak akan tinggal diam. Dia akan mengenakan sanksi kepada bawahannya. Tentunya setelah kasus ini selesai.  “Nanti kita bicarakan pasca sidang ini, satu-satu dulu. Tentu  ada (sanksi) kaitannya dengan hal ini,” tegasnya.

Dalam persidangan juga sempat ditunjukkan barang bukti percakapan telepon antara HS dengan Kadis PUPKP Agus. Dalam percakapan itu mengkomunikasikan mengenai informasi kaitannya perizinan salah satu villa. “Kulo titip niku mang garapke nggone greenhouse villa. Nek antrian e nangisor mang unggahke, rampungno,”  kata HS dalam telepon itu. Dan, dijawab Agus, “Satu hari selesai.”

HS telah mengkonfirmasi bahwa permasalahan itu sudah lama terkait Greenhouse Villa. Permasalahan antara Dinas Penanaman Modal dan Perizinan dengan DPUPKP. “Itu masalah Pak Nur (Nurwidi) bilang ke saya, kalau greenhouse belum selesai masalahnya masih di Kimpraswil (DPUPKP). Selesaikan sajalah di antara kalian, kalau ada koordinasi kan sedino rampung,” katanya menjelaskan maksud dari telepon itu.

Dia tidak menampik terkait masalah perizinan dari pemohon izin yang mengeluhkan lama di DPUPKP ke Perizinan. “Perizinan ke tata ruang biasanya berkaitan dengan desain, fasad-fasadnya. Itulah perlunya sebagai atasan untuk mengkordinasikan di antara mereka,” ujarnya.

Sementara itu, JPU KPK Lucky Dwi Nugroho mengatakan, HS dihadirkan dalam kapasitasnya sebagai saksi. Keterangan yang disampaikan HS dikonfirmasi dengan saksi-saksi sebelumnya. “Memang seperti itu jawabannya. Kalau dibantah itu, hak yang bersangkutan (HS),” kata Lucky, usai persidangan.

Namun Lucky menuturkan tentu ada konsekuensi hukum jika keterangan yang disampaikan HS bukan keterangan yang sebenarnya atau palsu. Dia menyebut, hal itu diatur dalam undang-undang (UU). “Itu diatur dalam UU. Kalau saksi memberikan keterangan palsu, ada pasalnya sendiri,” jelasnya.

Sehingga dalam hal ini pihaknya sebatas mengkonfirmasi keterangan saksi sebelumnya, bukan konteks menduga-duga. Menurutnya, dalam kapasitas sebagai saksi, sebelum memberikan keterangan dilakukan sumpah sesuai agamanya.

“Artinya kita tidak sampai dalam konteks menduga kalau uang tersebut benar diterima atau peruntukannya memang untuk beliau (HS), silakan saja. Tapi kalau keterangan itu ternyata tidak sebenarnya atau palsu, ada konsekuensi hukumnya,” tamba jaksa.

Dikatakan Lucky, dalam berita acara pemeriksaan (BAP) HS tidak banyak mengetahui terkait kasus SAH Soepomo. Meskipun ada hal-hal yang diketahui, dalam kontek peristiwanya sudah terjadi. “Kita hanya sebatas mengkonfirmasi hal yang sebatas pengetahuan beliau saja sesuai BAP,” katanya.

Persidangan kali ini juga menghadirkan Ketua DPRD Kota Jogja periode 2014-2019 Sujanarko, dan Ketua Komisi C DPRD Kota Jogja periode 2014-2019 Christiana Agustiani. “Dari kami saksi sudah cukup. Agenda selanjutnya dari saksi meringankan atau pihak penasihat hukum,” tambahnya.

Sementara, Christiana Agustiani dalam kesaksiannya mengaku uang Rp 40 juta yang berasal dari Kepala Bidang Bina Marga DPUPKP Umi Akshanti sudah dibagikan ke semua anggota komisi C. “Iya menerima uang dari Pak Agus DPUPKP melalui Bu Umi,” katanya.

Uang yang diterima Christiana Agustiani Rp 8 juta. Sisanya dibagikan hampir semua anggota komisi C, baik yang diterima langsung oleh anggota komisi C maupun dititipkan ke anggota komisi C lainnya. Hanya Fauzan dari fraksi PKS yang tidak mau menerima uang itu. “Tapi yang membidangi Komisi C Pak Koko (Sujanarko) tidak dapat bagian dari pembagian uang ini,” katanya. Namun uang Rp 8 juta itu langsung dikembalikan ke KPK.

Pada sidang sebelumnya, Hasan Widagdo (Fraksi PPP) mengaku tidak menerima uang dari Christiana. Padahal dalam kesaksian Christiana Agustiani, Hasan menerima uang Rp 4 juta. “Uang yang Rp 40 juta sudah dibagi habis,” ujar dia di sela persidangan.

Ternyata uang untuk empat anggota komisi C diserahkan melalui Suwarto yang juga anggota komisi C. Namun dalam kesaksiannya kemarin, uang itu tidak dibagikan langsung kepada yang disebutkan yaitu Emanuel (Pras), Hasan, Edi, dan Anto. “Saya tidak sampaikan kalau uangnya masih dipinjam Pak Warto, sehingga belum disampaikan kepada yang bersangkutan,” bebernya.

Saksi lain, Sujanarko dalam kesaksiannya mengaku pernah menerima uang Rp 20 juta dari Kabid SDA Aki Lukman Noor Hakim. Diakui, dia menerima uang karena ada sesuatu yang disampaikan dari Agus melalui telepon. “Jika saya butuh, katanya meminta kepada Pak Kadis (Agus). Uang itu (Rp 20 juta) untuk keperluan pribadi,”  ungkapnya.

Lantas dalam keterangannya uang Rp 20 juta tersebut digunakan untuk mengangsur pinjaman ke koperasi, karena sudah jatuh tempo pembayaran. Dan, uang Rp 20 juta sudah dikembalikan ke KPK pada November 2019. (wia/laz)