RADAR JOGJA – Serangan Oemoem (SO) 1 Maret adalah peristiwa istimewa bagi Bangsa Indonesia. Keberhasilan serangan yang dilancarkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan rakyat sehingga mampu menguasai Ibukota Jogjakarta selama enam jam membuat dunia internasional tetap mengakui eksistensi Indonesia.
Kedaulatan Indonesia sempat terancam setelah pasukan penjajah Belanda berhasil melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. Belanda menduduki tempat-tempat strategis sehingga mampu menjalankan roda pemerintahan pendudukan di Kota Jogjakarta.
”Belanda berupaya menghapus peta Indonesia dari peta dunia,” jelas Muhammad Jazir, sejarahwan dan Ketua Dewan Syuro Takmir Masjid Jogokariyan Jogjakarta, dalam Sarasehan dan Dialog Kebangsaan bertema Menuju Hari Penegakan Kedaulatan Negara di Museum Benteng Vredeburg Jogjakarta, Kamis (5/3).
Saat itu sebanyak 135 pesawat tempur dan 47 pesawat pengangkut pasukan baret merah diterjunkan di Jogjakarta. Sebelumnya, pada 16 Desember 1948, sejumlah kapal perusak Belanda juga telah bersiap siaga di Parangkusumo dengan berjarak kira-kira 26 kilometer dari Kota Jogjakarta.
”Bayangkan, Jogjakarta yang seperti secuil daging mendapat kepungan seperti itu,” terangnya.
Belanda melakukan propaganda kepada dunia internasional bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi. Untuk itu, diperlukan upaya guna meyakinkan dunia internasional Indonesia masih berdaulat, memiliki tentara, dan pemerintahan. Serangan spektakuler pun diupayakan. Sebuah serangan yang tidak bisa disembunyikan Belanda dan harus diketahui oleh UNCI (United Nations Commission for Indonesia).
Tepatnya pada pagi hari 1 Maret 1949, dimulailah serangan besar-besaran dengan fokus utama Ibukota Indonesia saat itu yakni Jogjakarta. Serangan dilancarkan setelah mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Raja Keraton Jogjakarta dan Menteri Pertahanan Indonesia. Tujuannya untuk menghambat bantuan tentara Belanda. Tepat pukul 06.00, sirine dibunyikan. Serangan dilakukan ke seluruh penjuru Kota Jogjakarta. ”Operasi dengan serangan pendadakan sangat penting. Ini tidak boleh gagal,” paparnya.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) berhasil menduduki Kota Jogjakarta selama enam jam. Tepat pukul 12.00, sebagaimana yang telah ditentukan dalam strategi semula, seluruh pasukkan TNI ditarik mundur. ”Enam jam cukup untuk menunjukkan eksistensi Indonesia. Setelahnya tantara langsung mundur sebelum bala bantuan Belanda datang,” terangnya.
Penyerangan tersebut jadi pembicaraan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang juga membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) untuk menyelesaikan perselisihan Indonesia dan Belanda. Serangan tersebut dibicarakan di Hotel Merdeka Jogjakarta, di mana terdapat anggota delegasi UNCI (KTN) serta pengamat militer dari PBB. Ada pula banyak wartawan asing di hotel tersebut.
”Sultan (Hamengku Buwono IX) melihat kesempatan yang baik untuk menunjukkan TNI masih eksis. Serangan menunjukkan ke dunia internasional bahwa Indonesia masih eksis,” tegasnya. (tor/amd)