RADAR JOGJA – Ribuan peserta aksi Gejayan Memanggil memadati simpang tiga jalan Affandi, Senin (9/3). Ada enam poin tuntutan yang disampaikan dalam aksi kali ini. Seluruhnya terfokus dan wujud respon dari pembahasan RUU Omnibus Law.
Poin pertama tuntutan adalah menggagalkan Omnibus Law. Meliputi RUU Cipta Kerja, RUU Perpajakan, RUU Ibu Kota Negara dan RUU Kefarmasian. Selanjutnya adalah dukung pengesahan RUU P-KS dan Tolak RUU Ketahanan Keluarga.
“Kami juga memberikan mosi tidak percaya kepada pemerintah dan seluruh lembaga negara yang mendukung pengesahan Omnibus Law,” jelas Humas Aksi Gejayan Memanggil Kontra Tirano, ditemui di simpang tiga Jalan Affandi, Senin (9/3).
Atas tuntutan ini para simpatisan aksi mendukung penuh mogok nasional. Selain itu menyerukan kepada seluruh element rakyat untuk terlibat aktif dalam mogok nasional tersebut. Tuntutan selanjutnya adalah tindakan represif aparat dan ormas reaksioner. Aksi Gejayan Memanggil ini juga mengajak untuk merebut kedaulatan rakyat. Diimbangi dengan membangun demokrasi sejati.
“Pada intinya Omnibus Law adalah produk hukum yang familiar di negara dengan tata hukum Anglo-Amerika, dengan tujuan untuk melakukan sapu bersih atas masalah-masalah yang timbul,” katanya.
Peserta aksi menganggap pemerintah tak serius menyelesaikan masalah yang ada. Seperti rendahnya Indeks Persepsi Korupsi (CPI) hingga kemudahan administrasi untuk berusaha dan investasi. Disatu sisi permasalahan ini justru dibenturkan dengan produk Omnibus Law.
Tirano menilai calon produk hukum ini justru merampas hak-hak dasar warga negara. Termasuk hak atas ruang hidup fisik dan non-fisik. Gelombang penolakan merupakan wujud aksi respon dari pembahan RUU tersebut.
“Tak hanya Omnibus Law tapi juga penolakan kepada RUU Perpajakan, RUU Penguatan Sektor Keuangan, RUU Ketahanan Keluarga dan RUU Pertanahan. Tentu semua hal yang disebutkan di atas juga harus ditolak dalam satu kesatuan karena sifatnya sama,” ujarnya.
Untuk sektor kerja, Omnibus Law, lanjutnya jelas merugikan pekerja. Berupa tidak jelasnya jam kerja dan lembur. Aturan tersebut justru memperpanjang jam operasional para pekerja.
Penetapan upah minimum yang rendah, menurutnya berpotensial melanggar hak berserikat para pekerja. Terlebih kebijakan ini justru memangkas kewenangan pekerja. Khususnya hak-hak pekerja perempuan untuk cuti haid, hamil dan keguguran.
“Pada petani berpotensi menyebabkan hilangnya pembatasan impor pangan. Muncul monopoli oleh unit usaha terkait ekspor bibit unggul tanaman,” katanya.
Lebih jauh Omnibus Law akan menghadirkan situas monopoli tanah oleh Bank Tanah. Bukan untuk kepentingan publik tapi pada kepentingan investasi. Ada pula dugaan praktek usaha yang merusak fungsi ruang atau lingkungan.
“Omnibus Law mempunyai implikasi langgengnya praktek pendidikan yang berorientasi pada pasar. Berpotensi tidak transparan karena minim-nya partispasi masyarakat dan keterbukaan atas informasi draft Omnibus Law,” katanya. (dwi/tif)