RADAR JOGJA – Gubernur DIJ Hamengku Buwono X meminta pemerintah pusat terbuka atas pemetaan daerah zona merah. Langkah ini guna memudahkan penyusunan kebijakan daerah. Terutama tentang penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini tak menampik adanya kesulitan dalam mendata. Terlebih para pendatang yang pernah berada atau tinggal di zona merah. Imbasnya adalah upaya meminimalisir penyebaran Covid-19 tidak optimal.
“Katakan saja kota mana yang merah, supaya kami bisa mengimbau masyarakat kami. Termasuk mengantisipasi kedatangan warga dari zona merah. Selama ini tahunya hanya Jakarta dan sekitarnya tapi tidak pernah mau menjawab itu mana saja. Bagi kami penting untuk menyusun kebijakan,” jelasnya ditemui di Komplek Kantor Kepatihan Jogjakarta, Senin (30/3).
HB X tak mempermasalahkan kedatangan para pendatang. Hanya saja tetap ada pendataan personal mulai dari kondisi kesehatan hingga datang dari wilayah mana. Langkah ini guna memudahkan pemantauan kedepannya.
Inilah yang HB X saat rapat teleconferen antara Gubernur se-Indonesia dengan Presiden Joko Widodo. Secara terbuka HB X tak ingin perpindahan penduduk berlangsung massif. Terlebih bagi warga yang sempat berdomisili di beberapa zona merah.
“Saya tidak mempersoalkan itu, mosok mulih kok ora oleh. Gubernur se Jawa tidak menolak pendatang. Hanya perlu diatur, jangan sampai zona hijau jadi merah. Kalau gitu tidak menyelesaikan tapi virus justru berpindah. Beban ini ada di daerah bukan di Jakarta lagi,” katanya.
HB X secara tegas memastikan tak ada lockdown di Jogjakarta. Pengertian disini adalah penghenti seluruh aktivitas masyarakat dan penutupan jalur masuk Jogjakarta. Berbeda dengan aksi local lockdown yang dilakukan oleh beberapa padukuhan.
Jogjakarta, lanjutnya, menerapkan pembatasan sosial. Konsep ini adalah pembatasan aktivitas keseharian. Setidaknya hingga dipastikan kondisi kesehatan para pendatang sehat dan negatif Covid-19. Kebijakan ini juga mengurangi aktivitas luar ruang.
“Dikurangi aktivitas luar ruang bukan berarti tidak boleh keluar. Nah kalau akses jalan, misal ada tiga dibuka satu akses saja. Agar memudahkan mengontrol siapa masuk dan keluar kampung,” ujarnya.
Pernyataan HB X memiliki dasar yang kuat. Berdasarkan data Dinas Kesehatan DIJ ada lonjakan orang dalam pemantauan (ODP). Sepuluh hari di awal Maret jumlah ODP hanya berkisar 300 hingga 400 orang. Jumlah ini meningkat berkali lipat setelahnya. Tercatat setidaknya saat ini ada sekitar 1870 orang berstatus ODP.
Mayoritas penyumbang ODP adalah pendatang dari luar wilayah. Artinya ada kemungkinan warga yang masuk ke Jogjakarta menjadi carier atau pembawa Covid-19. Inilah yang diantisipasi oleh jajaran Pemprov DIJ dan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Pemprov DIJ.
“Faktanya yang terjadi di Jogjakarta itu seperti itu, tidak ada virus Corona lokal (local transmition) yang ada orang Jogja keluar lalu pulang bawa virus (import case). Jumlah 1870 OPD itu mayoritas itu pendatang,” bebernya. (dwi/tif)