JOGJA – Pandangan Pakar Administrasi Negara Fisipol UGM Sri Purwaningsih seputar urusan keistimewaan DIJ disoal DPRD DIJ. Gara-garanya saat diundang sebagai pakar dalam pembahasan perubahan Perdais No. 3 Tahun 2015 tentang Kelembagaan Pemprov DIJ, Sri tidak menyebut secara tegas kewenangan urusan keistimewaan DIJ.
“Kewenangannya masih debatable (belum pasti) antara pemerintah provinsi atau kabupaten dan kota,” ujar Sri di depan rapat kerja pansus raperdais kelembagaan Senin (22/1).
Pernyataan Sri itu spontan mengundang reaksi salah satu anggota pansus Bambang Chrisnadi. Dia memasalahkan keterangan Sri tersebut. “Bagaimana debatable. Silakan baca pasal 6 UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIJ. Bunyinya sangat jelas kewenangan istimewa DIJ berada di provinsi,” ucap Bambang.
Sedangkan penjelasan pasal 6 berbunyi yang dimaksud kewenangan istimewa DIJ berada di provinsi adalah penyelenggaraan urusan keistimewaan dilaksanakan di provinsi bukan di kabupaten/kota.
Bambang melanjutkan keterangan di pasal 7 ayat (1) dan (2) huruf b UUK terkait kelembagaan. Kelembagaan menjadi bagian dari lima kewenangan urusan keistimewaan DIJ. “Itu artinya, kewenangan kelembagaan berada di provinsi. Ini zaman now,” ujar Bambang sambil menunjukan ponselnya sebagai isyarat dirinya mengakses informasi itu dari internet.
Mendengar serangan itu, Sri hanya klecam-klecem. Semula dia memberikan sejumlah pertimbangan kelembagaan DIJ tidak hanya berada di level provinsi. Namun merambah hingga kabupaten dan kota serta desa se-DIJ. Bahkan nomenklatur desa diganti dengan sebutan kalurahan. Sebutan camat diganti panewu.
Anggota pansus lainnya Slamet meminta agar pemprov tidak terlalu bernafsu mengubah kelembagaan hingga kabupaten, kota dan desa. Dia meminta agar kewenangan di provinsi dijalankan sebaik-baiknya. “Yang ada dijalankan dan jangan diada-adakan,” sindir kader Partai Golkar ini.
Sindiran Slamet itu tertuju pada upaya pemprov membuat nomenklatur lokal dalam kelembagaan dan tata naskah dinas. Nomenklatur lokal itu seperti membuat istilah sekretaris provinsi dengan sebutan panitra praja, biro menjadi tepas dan dinas (kawedanan) serta badan dengan istilah bebadan. “Apa tidak rumit,” ingatnya.
Penghageng II Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Widya Budaya Keraton Jogja KRT Purwodiningrat mengakui tidak gampang melakukan sulih bahasa dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Jawa untuk menyusun nomenklatur lokal. Alasannya tidak semua nama organisasi perangkat daerah (OPD) bisa dialihbahasakan dengan bahasa Jawa.
Sejawat Purwodiningat, KRT Rinto Isworo menyerahkan sepenuhnya digunakan atau tidaknya istilah-istilah Jawa dalam nomenklatur lokal di kelembagaan pemprov kepada dewan. Rinto mengatakan, nama-nama tepas, kawedanan, dan bebadan yang tercantum dalam raperdais kelembagaan merujuk pada sejarah masa lalu di Keraton Jogja. Sejak lama, birokrasi keraton memakai sejumlah istilah tersebut.
Anggota pansus Arif Setiadi mempertanyakan materi naskah akademik di halaman 78-79. Isinya menyebutkan nama-nama nomenklatur lokal yang merupakan hasil konsultasi dengan Penghageng II Widya Budaya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. “Tidak dijelaskan apakah penghageng I sedang berhalangan atau ada sebab lain,” ujarnya.
Klarifikasi Arif itu mendapatkan jawaban dari Wakil Penghageng II Parentah Hageng KPH Yudhahadiningrat. Dia mengatakan, penghageng I di keraton dijabat putra atau putri dalem (putra atau putri sultan). “Bisa juga paman atau sedherek dalem (saudara sultan),” jelas Yudhahadiningrat. (kus/ila/mg1)