Lebih Dekat dengan Keluarga Gayuh Satrio, Peraih Medali Asian Para Games 2018

Sejak duduk di bangku kelas 1 sekolah dasar, Gayuh Satrio didiagnosa low vision. Raihan tiga medali Asian Para Games 2018 dalam cabang olahraga catur menjadi bukti sahih keterbatasan tak menjadi penghalang.

AHMAD SYARIFUDIN, Jogja

Momen penyerahan medali di GOR Cempaka Putih, Jakarta, beberapa waktu lalu menjadi peristiwa yang tak terlupakan bagi Gayuh Satrio. Pemuda asal Ngupasan, Gondomanan, Kota Jogja, ini sukses memborong tiga medali dalam Asian Para Games 2018. Yakni, perunggu dalam kelas beregu catur klasik, perak di perorangan catur cepat, dan emas di beregu catur cepat. Melengkapi daftar perolehan kontingen Indonesia. Namun, di balik raihan mentereng ini, Gayuh harus melalui jalan berliku nan terjal.

”Waktu itu gurunya (Gayuh) menyarankan saya untuk memeriksakan Gayuh. Karena dia sulit fokus menerima pelajaran,” kenang Herni Miji Astuti, ibunda Gayuh Satrio, menceritakan, sejak kelas 1 sekolah dasar anak keduanya itu didiagnosa low vision.

Sebagai ibu, Herni tak putus asa. Dia terus mendorong anak keduanya itu mencintai hobinya, bermain catur. Gayuh kecil gandrung dengan olahraga yang mengasah kemampuan otak itu karena sering memperhatikan ayahnya memainkan bidak-bidak catur.

”Ayahnya bukan atlet. sekadar hobi,” tuturnya.

Gayuh kecil begitu bersemangat mengasah kemampuannya. Dia berlatih keras melalui berbagai media. Mulai papan catur konvensional, hingga games catur di komputer maupun smartphone Android. Saking semangatnya, Gayuh tak jarang abai dengan kondisinya.

”Walau sudah kelelahan, theklak-thekluk begitu, masih ingin latihan. Akhirnya saya yang harus menghentikan,” sahut Bimo Tri Adi Wijaya, pelatih catur Gayuh yang duduk di sebelah Herni.

(FOTO-FOTO: DONNY HERY FOR RADAR JOGJA)

Berkat kerja kerasnya itu, Gayuh mulai berani unjuk kemampuan di kejuaraan. Sadar dengan kemampuan fisiknya, Gayuh kerap membawa lampu penerangan sendiri. Atau membawa papan catur yang lebih besar. Namun, tak jarang lampu dan papan catur inilah yang dianggap lawannya sebagai kelemahan Gayuh. Ada di antara lawannya yang ingin mengalahkannya cukup dengan komplain: terganggu dengan silau lampu atau papan terlalu besar.

”Tapi ya itu hak mereka juga buat protes,” tuturnya.

Saat bertanding, Bimo bercerita, terkadang Gayuh merasa kedua matanya kelelahan, sehingga harus diistirahatkan. Nah, situasi ini diakali Bimo dengan membacakan posisi setiap bidak.

Berkat kerja kerasnya itu pula, Bimo merasa kalah telaj dibanding dengan prestasi anak didiknya itu. Serentetan juara pernah diraih Gayuh. Seperti Gadjah Mada Chess Championship 2016 hingga berbagai kejuaraan khusus penyandang disabilitas.

”Di PON Peparnas tahun 2016 dia menyabet dua emas dan satu perak. Sedangkan pada tahun 2017 saat SEA Games di Malaysia dia memborong tiga emas dan satu perak,” ungkapnya.

Di rumahnya, Gayuh ditempa. Di rumah itu pula, Herni ingin lahir bibit-bibit baru pecatur andalan. Bahkan, Herni memutuskan rumahnya dijadikan sebagai sekretariat Persatuan Catur Indonesia (Percasi) dan National Paralympic Committee (NPC) tingkat Kota Jogja. Di rumah ini pula, anak-anak hingga paro baya setiap hari berlatih catur hingga dini hari.

”Semoga dengan prestasi gemilang Gayuh ini memotivasi yang lain untuk menekuni apa pun yang menjadi kesenangannya sekalipun memiliki keterbatasan fisik. Kalau berminat di olahraga catur, kami siap mewadahi. Asal mau kerja keras, pasti bisa,” jelas Bimo.

Selain mendapat bonus miliaran rupiah, Kementerian Pemuda dan Olahraga juga menyediakan jalur khusus CPNS agar Gayuh dapat menjadi ASN. Saat ini proses sudah hampir selesai. Nantinya Gayuh akan diperbantukan di Jogjakarta. (zam/fj/mo2)