Meski Sudah Ada UUK dan Perdais Tanah SG

BANTUL – Status sertifikat tanah Ambarrukmo Plaza (Amplaz) akan dipertahankan. Meski telah lahir UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIJ dan Peratuan Daerah Istimewa (Perdais) DIJ No. 1 Tahun 2017 yang mengamanatkan semua tanah Sultanaat Grond (SG) disertifikatkan atas nama kasultanan. Namun khusus Amplaz, yang juga tanah SG, tidak akan diutak-utik.

Status sertifikat tetap dipertahankan atas nama Sultan Hamengku Buwono. Tanpa angka romawi di belakangnya. “Tetap atas nama Sultan Hamengku Buwono. Tanpa angka itu berarti statusnya milik lembaga. Bukan pribadi. Jadi tidak perlu diubah menjadi milik kasultanan,” ungkap Anggota Parampara Praja (penasihat gubernur) DIJ Suyitno SH MS di sela sosialiasasi Peraturan Gubernur (Pergub) DIJ No. 49 Tahun 2018.

Sosialisasi diikuti para kepala desa dan perangkat desa se-Kabupaten Bantul. Sosialisasi berlangsung di pendapa rumah dinas bupati Bantul pada (30/10) dan Kamis (1/11). Pergub No. 49 Tahun 2018 mengatur tentang Prosedur Permohonan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten.

Sekadar diketahui, jauh sebelum adanya UUK, Keraton Jogja telah lebih dulu menyertifikatkan tanah Pesanggrahan Ambarrukmo di Dusun Ambarrukmo, Caturtunggal, Depok, Sleman. Persertifikatan diterbitkan di era 1990-an.

Sertifikat  dikeluarkan Kepala Kantor Pertanahan BPN Sleman Sukamto SH. Penerbitan sertifikat itu sempat mengundang reaksi dari keturunan trah Sultan Hamengku Buwono VII. Sebab, sertifikat atas nama Sultan Hamengku Buwono tanpa angka romawi menimbulkan ketidakpastian. Subjek hukumnya tidak jelas.

Di keraton tidak ada Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta tanpa angka romawi di belakang nama gelarnya. Sejauh ini sultan yang bertakhta bergelar Hamengku Buwono I hingga Hamengku Buwono X.

Sejarah mencatat Pesanggrahan Ambarrukmo pernah menjadi tempat tinggal Sultan Hamengku  Buwono VII. Setelah pensiun sebagai raja. Hamengku Buwono VII menghabiskan hari-hari tuanya hingga wafat 1921 di pesanggrahan tersebut. Kini di sisi kanan dan kiri pesanggarahan berdiri Hotel Royal Ambarrukmo dan Mal Ambarrukmo.

Lebih lanjut Suyitno menegaskan, kebijakan tidak mengubah status sertifikat tidak berlaku untuk tanah desa. Alasannya, tanah desa asal usulnya dari kasultanan dan kadipaten. Ini sesuai Pergub No. 34 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tanah Desa.

Berdasarkan pasal 11 ayat (2) Pergub No. 34 Tahu 2017, tanah desa yang sudah disertifikatkan dengan status hak pakai di atas tanah negara harus dikembalikan statusnya menjadi milik kasultanan dan kadipaten. Statusnya berubah menjadi hak anggaduh.

Munculnya permintaan sertifikat tanah desa diubah menjadi tanah kasultanan membuat bingung peserta sosialisasi. Contoh itu disampaikan salah seorang perangkat Desa Gilangharjo, Pandak, Bantul.

Diceritakan, sertifikat tanah Pasar Jodog, Gilangharjo milik pemerintah desa. “Sekarang kami diminta mengubahnya menjadi milik kasultanan. Bagaimana cara kami mengubahnya?” tanyanya.

Suyitno mengakui tidak mudah memproses perubahan status tanah desa menjadi tanah kasultanan. Kenyataannya, tak semua desa di DIJ asal usul tanahnya dari kasultanan dan kadipaten. Terutama desa-desa di wilayah enclave Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kadipaten Mangkunegara. Jumlahnya mencapai 23 desa. Enclave Kasunanan berada di Bantul dan Mangkunegaran di Gunungkidul. Pengertian enclave merupakan daerah kantong yang wilayahnya dikelilingi wilayah negara lain.

Enclave Kasunanan dulunya dikenal dengan sebutan Imogiri dan Kotagede Surakarta. Tersebar di 16 desa dan tiga kecamatan. Yakni Desa Jatimulyo, Terong, Dlingo, Temuwuh, Muntuk dan Desa Mangunan. Semuanya masuk Kecamatan Dlingo, Bantul.

Lalu Desa Imogiri, Girirejo, Karangtalun, Karangtengah, dan Kebon Agung di Kecamatan Imogiri. Kecamatan Pleret memiliki tiga desa enclave. Yakni Desa Bawuran, Wanalela dan Segarayasa. Kemudian Kecamatan Banguntapan meliputi Desa Jagalan dan Singosaren.

Sedangkan Enclave Mangkunegaran dulunya bernama Kapanewonan Ngawen-Semin di bawah Kawedanan Wuryantoro, Wonogiri. Ada tujuh desa meliputi Desa Beji,  Jurang Jero,  Kampung,  Sambirejo, Tancep, dan Watusigar. Semuanya masuk Kecamatan Ngawen. Satu lagi, Desa Tegalrejo saat ini masuk wilayah Kecamatan Nglipar.

Menyikapi tanah desa yang asal usulnya dari enclave, Suyitno mengusulkan agar penyelesaiannya dibahas oleh Tim 9.  “Saya usul nantinya Tim 9 ini beranggotakan orang-orang yang benar-benar paham. Bukan yang punya kepentingan,” tegasnya.

Disinggung kemungkinan diadakan perubahan Perdais No. 1 Tahun 2017 dengan mengecualikan pemberlakuan Pergub No. 34 Tahun 2017 di desa-desa wilayah enclave, Suyitno tidak setuju. “Untuk mengubah perdais bukan hal mudah,” tegas mantan dosen hukum perdata Fakultas Hukum UGM ini.

Dia mengusulkan perlu ada kebijakan dengan mengategorikan tingkat kesulitannya. Tujuannya demi memudahkan sistem administrasi. Tanah-tanah desa yang dulunya enclave Kasunanan dan Mangkunegaran agar diatasnamakan menjadi milik kasultanan. Ini sama seperti tanah desa-desa lainnya.

“Saya tidak membela kasultanan. Tapi demi lancaranya penyelenggaraan pemerintahan, apa tidak disamakan saja administrasinya,” ujar Suyitno.

Terpisah, Anggota DPRD DIJ Suharwanta mewanti-wanti agar Pemprov DIJ bertindak konsisten. Terutama menjalankan Perdais No. 1 Tahun 2017. Dalam perdais itu disebutkan tanah desa adalah tanah yang asal usulnya dari kasultanan dan kadipaten.

Fakta menunjukkan ada tanah desa yang asal usulnya bukan dari kasultanan dan kadipaten. “Fakta ini harus diakui. Asal usul tanah enclave itu hasil  Perjanjian Klaten  27 September 1830 pasca Perang Diponegoro. Bukan perjanjian Giyanti 13 Februari 1755,” ungkap mantan wakil ketua Pansus Raperdais Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten ini.

Dikatakan, eksistensi wilayah enclave diakui secara sah oleh negara. Bahkan penggabungannya ke wilayah DIJ menggunakan UU No. 14 Tahun 1958. Penggabungan ke Pemerintah DIJ dan kepada kasultanan. Dengan begitu, tanah desa di wilayah enclave  tidak bisa begitu saja diubah menjadi tanah milik kasultanan.

“Jika dengan dalih kelancaran administrasi sejarah tanah enclave diabaikan dan diklaim menjadi tanah kasultanan, apa tidak berpotensi mengundang masalah hukum di belakang hari. Harus hati-hati,” ingatnya. (kus/yog/rg/mo1)