Oleh: Dahlan Iskan

DUA anak lelaki, dua tipe manusia. Sama-sama hebat. Tapi punya kelemahan masing-masing. Bu Nurhayati, ibu mereka, segera ambil kesimpulan: anak sulung dan adiknya itu memang berbeda. Yang kuliah di ITB jurusan kimia itu lebih kreatif. Tapi kurang rapi. Dalam pekerjaannya. Yang kuliah di ITB jurusan elektro itu lebih tertib dalam bekerja. Juga lebih disiplin. Tapi kalah kreatif.

Hasilnya sangat beda. Pasar Wardah di Indonesia wilayah barat lebih maju. Karena dipimpin orang yang lebih kreatif. Tapi manajemen di wilayah Indonesia timur lebih rapi. Karena dipimpin oleh anak yang lebih disiplin.

Dua-duanya diperlukan oleh perusahaan. Pemilik kosmetik Wardah itu segera ambil langkah. Pembagian tugas di antara dua anaknya itu tidak lagi per wilayah. Nurhayati sudah sampai pada kesimpulan: dua anaknya sama-sama bisa diandalkan. Hanya kemampuan mereka yang berbeda.

Maka anak yang kreatif itu diberi tugas bidang pemasaran. Tidak lagi hanya di wilayah barat. Seluruh Indonesia.

Yang manajemennya rapi tadi ditugaskan memimpin produksi. Bu Nurhayati pun memiliki direktur produksi dan pemasaran.

Sang ibu tinggal lebih konsentrasi di riset dan pengembangan.

Sang suami berhenti bekerja. Memperkuat perusahaan keluarga. Menangani bidang sumber daya manusia. Dengan pembagian tanggung jawab yang baru Wardah kian maju.

Sambil menunggu anak ketiganya lulus. Yang lagi mengambil spesialis kulit itu. Yang akan memperkuat bidang riset dan pengembangan.

Kebetulan salah satu menantu Bu Nurhayati juga memiliki kelebihan: bidang keuangan. Bisa diberi wewenang di bidang akuntansi.

Wardah lantas meraih kemajuan yang luar biasa. Semua pengendalinya muda. Kerjanya gila. Hanya anak muda yang bisa bikin kemajuan. Komentar saya sejak enam tahun lalu itu terbukti lagi di Wardah. “Anak-anak saya itu yang membesarkan Wardah,” kata Bu Nurhayati.

Semua seperti kebetulan.

Kebetulan Bu Nurhayati tidak diterima menjadi dosen. Kebetulan diterima oleh Wella. Kebetulan ditugaskan di bagian laboratorium. Kebetulan memilih memelihara anak daripada terus bekerja. Kebetulan anak-anaknya pintar dan bisa dilepas. Kebetulan memilih bisnis kecil-kecilan daripada kembali bekerja di perusahaan orang lain. Kebetulan rumahnya terbakar. Kebetulan tuntutan keadilan berkembang setelah reformasi. Termasuk keadilan ekonomi.

Kebetulan bank mulai memperhatikan usaha kecil. Wardah dapat kredit kecil. Kebetulan anak-anaknya sudah lulus. Saat perusahaan berkembang. Kebetulan anak-anaknya mau ikut perusahaan ibunya. Kebetulan hijaber lagi berkembang…Kebetulan.

Saya setuju bahwa semua itu pertolongan Tuhan. Tapi saya tidak setuju kalau semua itu sekadar kebetulan.

Saya bisa melihat dengan jelas: semua kebetulan itu karena Bu Nurhayati mengusahakannya.

Adakah yang lebih kreatif itu dipengaruhi kuliahnya di kimia? Yang memberikan doktrin eksperimen tanpa batas? Bukankah dunia kimia itu dunia kombinasi tanpa batas? Ataukah memang pada dasarnya lebih kreatif? Adakah yang lebih tertib dan disiplin itu karena kuliahnya di elektro? Yang mengajarkan serba disiplin? Agar tidak korslet?

Bu Nurhayati tidak mempersoalkan itu. Juga tidak tertarik mencari penyebabnya. Biarlah itu tugas ilmuwan sumber daya manusia. Yang jelas dua-duanya punya keunggulan. Tinggal ketepatan penempatannya. Bu Nurhayati jeli melihat perbedaan kemampuan anaknya. (yog/rg/mg3/bersambung)