JOGJA- Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta kembali melakukan sosialisasi warisan cagar budaya Jumat (7/12). Sosialisasi kali ini dikemas dalam focus group discussion (FGD). Bertajuk “Cara Mudah Memahami Cagar Budaya dan Warisan Budaya.” Acara digelar di Hotel Grand Inna. Menghadirkan tokoh masyarakat Kecamatan Danurejan.
Kegiatan tersebut digelar lantaran tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan pelestarian warisan cagar budaya masih rendah.“Ini sosialisasi terakhir sejak digelar mulai November lalu,” ungkap Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta Eko Suryo Maharsono. FGD menghadirkan narasumber yang berkompeten di bidangnya. Topik yang dibahas pun tak sekadar soal partisipasi masyarakat dalam pelestarian warisan cagar budaya. Lebih dari itu tentang tata cara menjaga dan pengelolaannya.
“Berdasarkan sifatnya, warisan cagar budaya ada yang berbentuk fisik dan non fisik. Fisik berupa bangunan, makanan, batik, pusaka. Sedangkan non fisik berupa seni dan budaya,” jelasnya.
Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Aziz Yon Haryono menjelaskan, sejak mendapat predikat istimewa dari pemerintah pusat, banyak isu bermunculan terkait kebudayaan. Terutama soal penggunaan dana keistimewaan (danais).
Menurutnya, alokasi danais untuk kebudayaan khusus bangunan masih dinilai rendah. Akibatnya, banyak bangunan warisan budaya (BWB) dan bangunan cagar budaya (BCB) rusak. Bahkan hilang.
Padahal, Kota Yogyakarta memiliki banyak sekali bangunan BWB dan BCB. Jumlahnya bahkan mencapai ratusan.
Anggota Komisi D DPRD Kota Yogyakarta Syamsul Hadi tak memungkiri jika danais yang diterima saat ini masih terlalu rendah. Padahal total danais sangat besar. Mencapai Rp 1 triliun. Awalnya danais kebudayaan hanya digunakan untuk kegiatan seni budaya. Namun, seiring adanya pelebaran ruang lingkup kebudayaan, bangunan kategori BWB dan BCB mendapat perhatian. Namun, menurut Syamsul, porsi untuk pengelolaan BWB dan BCB sangat kecil. Terlebih sejak Pemkot Yogyakarta melakukan revitalisasi kawasan Malioboro.
Menyebabkan konsentrasi pengelolaan BWB dan BCB hanya terpusat di satu kawasan. Padahal, di Kota Yogyakarta ada lima kawasan cagar budaya. Semuanya memiliki potensi luar biasa. Tak kalah dengan Malioboro. “Contoh daerah Kotabaru. Banyak BCB yang dibongkar karena pemilik tidak kuat menanggung biaya perawatannya,” ungkapnya.
Syamsul mengatakan, mahalnya biaya perawatan bangunan lama menjadi salah satu faktor penyebab masalah tersebut. (*/met/yog/fn)