ADA satu pembicaraan yang tak kunjung usai dalam perjalanan sejarah Indonesia, bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka, yaitu pembicaraan mengenai hubungan antara agama dan negara yang sudah dimulai sejak tahun 1930-an. Meskipun dulu ketika pembicaraan mengenai dasar negara telah disepakati diterimanya Pancasila sebagai dasar negara. Namun hal tersebut tidak mampu menyelesaikan sengketa tentang hubungan antara agama dan negara.

Telah diakui bahwa Indonesia bukanlah negara berdasarkan salah satu agama. Tetapi, dia memproteksi dan mengakui berbagai agama yang ada. Hal tersebut terjadi dari adanya pengakuan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa baik dari bunyi Pancasila maupun UUD 1945 Pasal 29 Ayat 1 yang menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka sebagian masyarakat dapat menafsirkan bahwa hal tersebut merupakan dasar keabsahan negara dijalankan berdasarkan nilai-nilai agama. Bagi masyarakat Islam hal ini menjadi dasar untuk mengakui bahwa Syari’at Islam dapat dimasukkan ke dalam tata hukum Indonesia untuk menjadi hukum nasional.

Melalui sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan dengan adanya Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan pemerintahan di daerah, nampaknya pemerintah daerah yang mengeluarkan Perda Syariah memiliki cara pandang bahwa untuk mengatasi atau mencapai tujuan tertentu, maka satu-satunya jalan adalah kembali pada Syari’at Islam. Hal ini bukanlah sesuatu yang keliru. Syari’at Islam sebagai ajaran yang bersifat universal mengandung ajaran-ajaran yang dapat di terapkan untuk semua kalangan tidak terbatas pada umat Islam. Islam merupakan agama yang rahmatan lil ‘alamin.

Namun, perlu disadari bahwa argumentasi tersebut merupakan argumentasi yang dipercayai oleh umat Islam. Tentunya umat agama lain tidak mengamini pendapat itu. mereka memiliki pandangan berbeda dalam hal agama sehingga yang benar menurut umat Islam tidaklah sama dengan kebenaran yang di yakini oleh umat agama lain.

Maka, kehadiran kelompok yang berbeda pedapat dengan diangkatnya ajaran agama ke wilayah publik menjadi hal yang niscaya. Kelompok yang kontra dengan adanya Syari’at Islam biasa disebut dengan kelompok sekuler. Mereka dianggap sebagai kelompok yang ingin memisahkan agama dengan negara. Sebab, agama merupakan urusan privat yang tidak boleh dihadirkan di ruang publik yang terdiri dari kelompok masyarakat dengan identitas dan kepercayaan yang beragam.

Apabila dipaksakan maka akan menimbulkan diskriminasi mayoritas terhadap minoritas yang berujung pada konflik antar agama. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan demokrasi konstitusional dimana negara melindungi hak-hak minoritas (mayority rule, minority right). Di alam demokrasi, negara dituntut untuk melihat keseluruhan dari masyarakat yang ada, bukan sebagiannya saja, sehingga tidak terjadi keberpihakan negara terhadap salah satu kelompok masyarakat.

Pandangan tentang kebenaran yang diyakini seseorang pada wilayah privatnya  tidak dapat dipaksakan pada ruang publik. Sebab masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai agama yang berbeda, bahkan dalam intern satu agama-pun terdiri dari berbagai pendapat yang berbeda-beda.

Akan tetapi, perlu di sadari pula bahwa masyarakat dengan aspirasi keagamaannya juga memiliki hak untuk menyampaikan aspirasinya meskipun hal tersebut berasal dari ruang privatnya. Menurut Jurgen Habermas, kita sekarang berada dalam masyarakat pasca-sekular yang didalamnya, warga beriman memiliki hak komunikasi yang sama dengan warga sekular. (Hadirman, 2009). Aspirasi yang bersumber dari ajaran agama tidak dapat disumbat secara sewenang-wenang oleh penguasa/pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu memikirkan formulasi yang canggih agar dapat mendudukkan aspirasi-aspirasi yang bersumber pada ajaran privat untuk di tawarkan di ruang publik.

Dengan demikian, pejabat berwenang yang hendak membentuk perda yang mengandung ajaran Islam perlu melakukan kajian yang mendalam untuk menemukan visi yang dikandung dalam ajaran Islam terkait regulasi yang hendak dibentuk, agar perda yang dibuat mampu menyesuaikan diri dalam tata hukum Indonesia dan tidak mengandung diskriminasi terhadap umat agama lain.

Perhatian pemerintah daerah juga seharusnya tidak mengutamakan ajaran Islam yang bersifat ritualistic semata. Sebab ajaran Islam tidak hanya berisi seputar ibadah melainkan banyak ayat al-Qur’an yang berbicara tentang tuntunan praksis dalam kehidupan manusia. Maka tuntunan yang mengarahkan pada peningkatan kualitas ketakwaan secara sosial ini-lah yang perlu sekiranya penting untuk diatur oleh peraturan daerah. Sebab tuntunan tersebut tidak akan mengancam ruang privat masyarakat seperti perda yang mengatur tentang ibadah yang bersifat ritualistik. Oleh karenanya ajaran Islam terkait kesetaraan, keadilan baik sosial maupun ekonomi menjadi hal yang sangat urgent diangkat pada saat ini untuk diangkat menjadi perda. (ila)

*Penulis adalah mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.