PEMPROV DIJ punya rencana besar. Mengembalikan wujud tembok Baluwarti ke bentuk asalnya. Pojok beteng sisi timur laut Keraton Jogjakarta akan direstorasi. Konon jokteng yang dulu dikenal dengan sebutan Tanjung Anom hancur akibat serangan serdadu Inggris pada 1812. Kini warga penghuni kawasan pojok beteng (Jokteng) Gondomanan masih menunggu tindak lanjut pemerintah.
SEDIKITNYA ada 10 bidang tanah di wilayah Kecamatan Gondomanan yang menjadi area terdampak proyek Jokteng Gondomanan. Camat Gondomanan Agus Arif Nugroho memastikan tak ada bangunan milik warganya, yang berada di kawasan situs sejarah itu. Semua tanah warga Gondomanan di kawasan itu berada di luar magersari (tanah milik Keraton Jogjakarta).
“Bekas beteng dan sisi dalamnya itu milik Kagungan Ndalem. Sementara (lahan, Red) di sisi luar beteng ada yang berstatus sertifikat hak milik (SHM) dan hak guna bangunan (HGB),” jelas Agus belum lama ini. “Pada zaman dahulu bidang tersebut merupakan halaman muka pelataran beteng,” tambahnya.
Rencana pembangunan kembali Jokteng Gondomanan masuk tahap sosialisasi. Sasarannya fokus warga penghuni kawasan situs tersebut. Pembangunan Jokteng Gondomanan, menurut Agus, tidak hanya fokus pada bangunan inti. Tapi juga kawasan di sekitarnya. Itu merujuk pada site plan proyek.
Agus mengaku belum tahu pasti mekanisme pembebasan lahan untuk keperluan proyek Jokteng Gondomanan. Kendati demikian, dia mengklaim seluruh warga terdampak menerima rencana itu. Alasannya, pemugaran Jokteng Gondomanan berkaitan penting dengan sejarah Keraton Jogjakarta.
Lahan yang akan dibebaskan terutama di depan beteng. Yang saat ini di lahan tersebut telah berdiri rumah makan, toko pakaian, apotek, toko konveksi, dan usaha lainnya.
“Setahu saya tahun ini sosialisasi dulu. Pembangunannya direncanakan mulai 2020,” ungkap Agus.
Rencana pembangunan kembali Jokteng Gondomanan mengacu pada tiga pojok beteng yang saat ini masih utuh. Itulah mengapa proyek tersebut memerlukan lahan yang luas.
Spoed, salah seorang warga Gondomanan, mengaku telah mengetahui rencana proyek tersebut. Dia mengetahuinya dari sosialisasi di tingkat RT/RW hingga kecamatan. Pemilik warung makan itu tak mempermasalahkan jika memang harus relokasi. “Tanah saya berstatus SHM. Bukan tanah keraton. Saya sudah menghuni tempat ini sejak simbah dulu,” ujarnya.
Alasan perempuan paro baya itu setuju relokasi mengingat pentingnya nilai sejarah. Apalagi keberadaan Jokteng Gondomanan berkaitan dengan sejarah keraton.
Warga penghuni sisi dalam beteng juga siap pindah ke tempat lain. Seperti dituturkan Agus, ketua RW 18 Kecamatan Kraton. Menurutnya, para penghuni rumah di kawasan itu merupakan warga yang mendapat hak magersari. Sejauh ini tercatat ada 13 rumah di atas magersari.
Dia lantas mengenang awal mula warga menghuni area bekas beteng itu pada medio 1970-an. Atas seizin raja saat itu, bangunan hanya berbentuk kotangan. Fungsi bangunan sebatas untuk kegiatan jual beli atau berdagang. Namun seiring waktu berjalan bangunan tersebut beralih menjadi rumah hunian. Karena itulah warga tak menolak relokasi. “Bahkan ada warga yang siap mengembalikan tanah keraton. Sebagaimana amanah eyang buyutnya, jika tanah diminta (keraton, Red) harus dikembalikan,” ungkapnya.
Rencana restorasi Jokteng Gondomanan turut menjadi perhatian Ketua Ikatan Arsitek Indonesia DIJ Ahmad Saifudin Mutaqi. Restorasi dengan tujuan mengembalikan fungsi dan fasadnya, maka tak menjadi masalah. Asal semua tahapan prosesnya dilakukan sesuai prosedur. Terlebih proses pembangunannya melibatkan berbagai unsur.
Restorasi harus melalui kajian mendalam. Apalagi terdapat permukiman warga di area restorasi. Kepemilikan tanah dari lahan yang akan direstorasi harus dirunut secara jelas. Apakah di atas tanah warga, pemerintah, atau kasultanan. “Yang jelas tidak ujug-ujug membangun. Harus dipelajari terlebih dahulu,” ingatnya.
Dikatakan, undang-undang tentang tata ruang mewajibkan tahapan perizinan. Langkah ini sangat krusial. Semua unsur yang terkait dengan tanah harus dirunut kembali perizinannya. Karena perizinan tersebut yang akan menjadi pijakan bagi pihak berwenang dalam membuat keputusan.
“Pembangunannya juga harus direncanakan matang. Mulai proses studi, perencanaan pembangunan, pelaksanaan, dan hingga masa pemeliharaan,” tutur Ahmad. (dwi/cr7/yog/tif)