JOGJA – Kondisi tanah di sekitar kompleks makam raja-raja di Imogiri mengkhawatirkan. Berdasar pengamatan Departemen Teknik Geologi dan Gama-InaTEK Universitas Gadjah Mada (UGM), ada enam titik retakan tanah di kompleks makam raja-raja. Satu di antaranya sepuluh meter dari titik longsor di area calon makam HB X Minggu (17/3).

Peneliti geologi UGM Dr Wahyu Wilopo mengingatkan, enam retakan tanah itu harus diwaspadai. Sebab, berpotensi longsor. Apalagi, jika wilayah kompleks makam raja-raja diguyur hujan terus-menerus.
”Pintu masuk bagian barat (makam raja-raja) juga berpotensi runtuh akibat pergerakan tanah,” ingat Wahyu saat ditemui di gedung Departemen Teknik Geologi, Kamis(21/3).

Di Kabupaten Bantul, Wahyu mencatat ada beberapa titik rekahan dan pergeseran tanah. Salah satunya, di sekitar kompleks makam raja-raja di Imogiri. Fenomena itu akibat gempa bumi 2006. Nah, rekahan dan pergerakan tanah ini yang menyebabkan area calon makam HB X longsor.

Namun, Wahyu menyebut ada beberapa faktor lain pemicu longsor yang menyebabkan tiga warga di RT 02 Pajimatan, Kedungbuweng, Wukirsari, Imogiri, itu tewas.

”Seperti tipe tanah, kondisi lerang, hingga aktivitas manusia,” ungkapnya.
Berdasar pengamatannya, Wahyu mengungkapkan, longsor yang terjadi akhir pekan lalu merupakan tipe longsoran. Dengan mahkota longsor selebar 35 meter. Sedangkan kedalaman longsor sekitar 25 meter. Dari itu, jarak dampak longsoran mencapai 175 meter dari mahkota longsor.

Guna mengantisipasi enam retakan tak longsor, Wahyu menyarankan beberapa langkah mitigasi Di antaranya menutup retakan tanah dan mahkota longsor. Dengan material kedap air seperti terpal. Langkah lainnya adalah membersihkan material yang tidak stabil di sekitar retakan. Misalnya, bongkahan bebatuan.

”Lakukan juga penataan sistem dan desain drainase agar air tidak mengalir bebas di permukaan,” sarannya.

Dalam kesempatan itu, Wahyu juga menyinggung beberapa penyebab Sungai Celeng meluap. Antara lain, tingginya curah hujan. Di mana saat itu curah hujan 148 mm per hari. Itu diperparah dengan buruknya saluran drainase. Jadi, volume tubuh Sungai Celeng tak mampu menampung debit air.

”Lokasi yang banjir merupakan pertemuan antara anak sungai dengan sungai utama (Sungai Celeng, Red),” bebernya.

Dari itu, kata Wahyu, Tim Geologi UGM menyarankan pembuatan sumur resapan, perbaikan drainase, pembuatan embung, hingga reboisasi. Tujuannya, sebagai upaya mitigasi dari bencana banjir. Serta kampanye pembuatan jugangan (tempat pembuangan sampah, Red). Sebab, sistem pengelolaan sampah tradisional ini berguna sebagai resapan air.

”Saya lihat masyarakat sekarang tidak banyak lagi yang mempunyai jugangan,” katanya.

Pada bagian lain, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIJ mulai mengambil langkah pemulihan dampak longsor di kompleks makam raja-raja di Imogiri. Persisnya di area calon makam HB X. Itu setelah dua korban longsor di RT 02 Pajimatan, Kedungbuweng, Wukirsari, Imogiri ditemukan Rabu (20/3).

Namun, pemulihan yang dimulai, Kamis(21/3) masih bersifat sementara. Sekadar untuk mengantisipasi terjadinya rekahan tanah dan longsor susulan. Caranya dengan menutup area longsor dengan terpal. Kendati begitu, BPBD tidak hanya menutup titik longsor. Melainkan juga menutup sepanjang material longsoran meluncur. Alias hingga ke permukiman warga.

Kepala Pelaksana BPBD DIJ Biwara Yuswantana menyebut jarak antara titik longsor hingga wilayah RT 02 Pajimatan sekitar 120 meter. Sedangkan luas titik longsor hingga area terdampak sekitar 4.000 hingga 5.000 meter persegi. Jadi, BPBD membutuhkan terpal cukup banyak. Estimasinya sekitar 220 lembar terpal.

”Terpal yang digunakan berukuran 5 X 7 meter,” jelas Biwara di kompleks makam raja-raja di Imogiri, Kamis(21/3).

Lalu berapa waktu yang dibutuhkan untuk menjahit terpal? Biwara memperkirakan sekitar tiga hari. Sebab, ratusan lembar terpal itu dijahit dengan cara manual. Karena itu, pemasangannya membutuhkan waktu hingga tiga hari. Hari pertama kemarin difokuskan menutup bagian atas. Atau di area calon makam HB X. Panjang terpal yang dipasang 40 meter.

”Hari kedua 40 meter lagi. Kemudian hari ketiga 40 meter lagi,” kata Biwara menyebut lebar setiap tahap penyambungan terpal bervariatif.

Pemasangan terpal, Biwara menegaskan tidak sekadar mengantisipasi rekahan tanah dan longsor susulan. Melainkan juga untuk melindungi cagar budaya dan permukiman.

Di tempat yang sama, Koordinator Lapangan (Korlap) BPBD Bantul Agus Fitrianto Hidayat mengungkapkan, bagian paling atas yang ditutupi terpal adalah fondasi calon makam HB X. Dari atas, terpal yang telah terikat digelincirkan.

Seperti di Bantul, Kabupaten Kulonprogo juga fokus melakukan tahap pemulihan. Kepala Pelaksana BPBD Kulonprogo Ariadi mengatakan, Wakil Bupati Kulonprogo Sutedjo telah meneken penetapan status tanggap darurat.

Status ini ditetapkan mulai 17 hingga 30 Maret. Itu bertujuan agar penanganan dampak bencana banjir dan longsor bisa maksimal. Sebab, ada empat kecamatan yang terdampak banjir. Yaitu, Wates, Panjatan, Temon, dan Pengasih. Sementara,

Selain banjir, juga terdapat 30 titik longsor. Tersebar di Kecamatan Samigaluh, Girimulyo, Kalibawang, Kokap, dan sebagian Kecamatan Pengasih. Pohon tumbang hampir di seluruh kecamatan.

Melalui penetapan status ini, pemkab bisa mengakses anggaran belanja tak terduga senilai Rp 3,9 miliar.
”Minimal hingga fasilitas umum bisa berfungsi kembali,” ujarnya.

Selain memulihkan fasilitas umum, pemkab juga mempersiapkan penanganan berbagai penyakit yang diderita warga terdampak banjir. Menyusul terganggunya sanitasi dan kotornya lingkungan setelah banjir. Berdasar catatan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kulonprogo, ada 852 warga terdampak banjir. Namun, hingga sekarang dinkes belum mengantongi data berapa jumlah warga terdampak banjir yang menderita penyakit.

”Warga yang mengalami gatal-gatal dan diare masih dalam proses pendataan,” jelas Pelaksana Harian Kepala Dinkes Kulonprogo Ananta Kogam.
Padahal, Kogam berdalih dinkes telah mengeluarkan surat edaran. Isinya agar puskesmas memantau lokasi terdampak banjir.

Dari Kabupaten Gunungkidul dilaporkan, ada delapan sekolah yang terdampak bencana banjir. Satu di antaranya dipastikan harus direlokasi. Yakni, SMPN 3 Saptosari. Lantaran kerap terendam air. Seperti saat Siklon Tropis Cempaka menghantam wilayah DIJ November 2017.

Menurut Kepala Pelaksana BPBD Gunungkidul Edy Basuki, pemkab telah mengalokasikan anggaran relokasi SMPN 3 Saptosari. Nilainya Rp 9 miliar. Itu berasal dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

”Pertengahan tahun ini mulai pembangunan,” ucapnya. (cr9/cr6/tom/gun/zam/mg2)