NAHDLATUL ULAMA (NU) merupakan ormas Islam yang mengikrarkan diri sebagai pengabdi umat dan bangsa. Nahdlatul Ulama bermakna kebangkitan para ulama. Artinya, ormas NU merupakan wadah pergumulan para ulama yang berserikat dalam memecahkan beragam persoalan umat dan bangsa.
Berdirinya NU pada 1926 tidak lepas dari spirit perjuangan melawan para penjajah. Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 adalah puncak dari nasionalisme para ulama dan santri yang berjihad meneguhkan kemerdekaan bangsa. Lebih dari itu, pesantren sebagai basis kultural NU telah berkontribusi besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Narasi singkat sejarah di atas menegaskan bahwa kebangkitan ulama menjadi alarm kebangkitan suatu bangsa. Selain memiliki peran keagamaan, ulama NU memiliki peran kebangsaan dalam menanamkan nasionalisme kepada masyarakat Indonesia. Ulama adalah tiang penyangga pembangunan karakter bangsa.
Dalam pandangan NU, nasionalisme tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam. Membela dan memajukan bangsa menjadi tugas utama umat muslim Indonesia. Spirit nasionalisme dan nilai-nilai Pancasila selaras dengan nilai-nilai universal Islam. Mengingkari NKRI dan Pancasila merupakan bentuk pengkhianatan perjuangan ulama.
Muktamar NU ke-27 tahun 1984, ulama NU meneguhkan Pancasila sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara. Mereka juga berkomitmen menjaga pluralitas bangsa. Sikap NU ini tercermin dalam praktik keberislamaannya yang menekankan pada ajaran Aswaja dan prinsip Islam rahmat yang moderat.
Akan tetapi dalam satu dekade terakhir, ulama NU menghadapi dua tantangan besar yaitu penetrasi ideologi Islam transnasional dan godaan politik praktis. Kini ormas-ormas radikal mencoba menggoncang eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara. Terlebih mereka cenderung memaksakan formalisme ajaran Islam ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tantangan yang lebih serius lagi yang dihadapi internal NU sendiri adalah melemahnya ulama NU dalam menjaga gawang moderasi Islam. Radikalisme agama mencoba masuk ke tubuh NU. Tragedi ledakan bom di Pesantren Umar bin Khattab, Bima, NTB membuktikkan lemahnya NU hari ini dalam menjaga gawang moderasi. Pesantren sebagai kekuatan kultural NU harus dapat membentengi bangsa ini dari penetrasi ideologi asing.
Rapuhnya internal NU hari ini memerlukan beberapa strategi untuk menguatkan kembali prinsip moderasi, baik secara internal ataupun eksternal. Pertama, ulama NU harus melakukan deradikalisasi agama baik internal maupun eksternal NU. Kedua, ulama NU memerlukan institusionalisasi moderasi Islam di seluruh tingkatan organisasi NU. Ketiga, ulama NU membutuhkan kaderisasi keulamaan yang menekankan kecendikiaan dan kezuhudan (Misrawi, 2017: 26).
Ketiga strategi di atas efektif untuk menguatkan kembali moderasi NU baik di internal maupun eksternal. Di sisi lain, ketiga cara di atas merupakan upaya NU untuk mereposisi komitmen kebangsaannya di tengah post-truth ini. Betapa banyaknya ulama NU di tahun politik ini yang haus akan kekuasaan.
Keterlibatan ulama NU dalam politik praktis hanya akan mencerabut NU dari akar kultural dan kemasyarakatannya. Para ulama NU yang terlibat dalam politik praktis cendrung membuat mereka lupa akan tanggung jawabnya sebagai pelayan umat dan bangsa.
Dari sini para nahdliyin perlu merefleksikan kembali para pejuang NU seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Wahid Hasyim dan lain-lain. Mereka adalah pengabdi umat dan bangsa tetapi bukan pelayan nafsu kekuasaan. Sekalipun demikian, umara dan ulama harus bersinergi dalam membangun bangsa ke arah kemajuan dan kesejahteraan.
Keterlibatan para elite NU dalam politik praktis hanya akan menyeret para ulama NU ke dalam konflik kepentingan yang mengakibatkan perpecahan internal. Mendekati pemilu pada April 2019, para ulama NU berperan besar untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dari konflik kepentingan dan perpecahan pandangan politik.
Tantangan NU ke depan adalah menjaga netralitas supaya agar dirinya istiqamah menjadi ormas alternatif bagi kompleksitas persoalan umat dan bangsa. NU harus menguatkan diri ke dalam sekaligus melakukan poliferasi pandangan moderat ke luar. Peneguhan kembali prinsip moderasi adalah cara NU memposisikan dirinya sebagai tangan kanan umat dan bangsa. Kebangkitan ulama harus menjadi tanda bagi kebangkitan bangsa. (tif)
*Penulis merupakan Alumni PP Al-Amien Prenduan 2015 yang sedang menempuh kuliah di UIN Sunan Kalijaga, Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. Penulis adalah Duta Kampus UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta 2018 dan aktivis pengembangan bahasa asing UIN Sunan Kalijaga.