SLEMAN – Profesi penenun kain dengan alat tenun bukan mesin (ATBM) di Dusun Sejati Desa, Sumberarum, Moyudan, Sleman, semakin sedikit. Generasi muda hampir tidak ada yang mau melanjutkan.
JAUH HARI WAWAN S, Sleman
Kamis siang (11/4) di sebuah dusun kecil yang tenang, sayup-sayup terdengar suara kayu yang tengah beradu. Suara itu berasal dari mesin tenun tradisional yang sedang digunakan untuk menenun.
Di salah satu rumah, nampak seorang perempuan dengan uban yang hampir memenuhi kepala. Raut mukanya terlihat serius. Tangannya masih lincah untuk menggerakkan alat tenunnya. Kendati usianya sudah tidak muda lagi.
Setiap kali digerakkan, alat itu menimbulkan suara benturan yang lumayan keras. Hampir seluruh alat yang dia gunakan terbuat dari kayu.
Adalah Ngatiyem, perempuan yang saat ditemui tengah memproduksi kain. Dia merupakan salah satu orang yang masih setia untuk menjadi penenun di Dusun Sejati Desa, Sumberarum, Moyudan.
Stagen merupakan jenis kain yang dia buat. Memang daerahnya terkenal dengan produsen kain yang difungsikan sebagai ikat pinggang pada zaman dulu. “Kalau sekarang sudah jarang yang menenun,” ungkap nenek dua orang cucu itu.
Memang ancaman tidak adanya penerus semakin nyata. Saat ini rata-rata anak muda lebih suka kerja kantoran dibanding menenun. “Mungkin karena hasilnya sedikit,” duganya.
Ngatiyem sadar, untuk saat ini hasil dari menenun tidak sebanyak dulu. Sehingga jarang yang mau untuk melanjutkan profesinya. Bahkan kedua anaknya juga tidak mau menjadi penenun. “Tapi setidaknya dulu dari menenun bisa menyekolahkan anak hingga SMA,” katanya.
Lama Ngatiyem termenung. Bahkan dia sempat hampir meneteskan air mata ketika mengingat bagaimana masa jayanya seorang penenun. “Dulu itu bisa dapat Rp 200 ribu, tapi saya lupa tahun berapa. Sudah lama,” kenang perempuan 68 tahun itu.
Di dapur yang juga dia fungsikan sebagai bengkel untuk menenun, masih tersimpan satu unit ATBM. Dulunya dia memiliki tiga unit. “Dulu di tahun 1977 belinya. Rp 12 ribu,” ungkap Ngatiyem yang sudah mulai menenun sejak sekolah dasar (SD) ini.
Selain itu, juga ada satu alat untuk menggulung benang sederhana. Alat itu terbuat dari velg sepeda. Nampak juga jelaga dari bekas pembakaran tungku menempel di ATBM maupun alat untuk menggulung benang. Sebab, ia masih menggunakan tungku api untuk memasak.
Dalam sehari, Ngatiyem hanya bisa membuat satu hingga dua potong stagen. Padahal saat usianya masih muda, bisa sampai lima potong. “Sekarang hanya sesempatnya saja,” katanya.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Ngatiyem akhirnya mengandalkan hasil panen di sawah. Sambil sesekali menjual stagen yang dia buat. Hanya pada pasaran Legi. “Ya kalau laku syukur, kalau tidak ya dicukup-cukupkan,” ungkapnya. (laz/mg2)