JOGJA – Inem Jogja viral di medsos beberapa waktu lalu. Bahkan sempat tampil di salah satu acara TV swasta. Made Dyah Agustina adalah sosok di balik simbol penebar kebaikan di jalanan Jogjakarta itu.

WAHYU TRIHATMOKO, Jogja

Berdarah Bali kelahiran Jogja. Itulah Made Dyah Agustina. Siapa sangka sosok dengan penampilan ala ‘wong edan’ itu adalah mantan dosen berijazah S2. Dia juga menjadi pendiri lima sanggar tari di Kota Jogja. Ya, daripada mengajar mahasiswa, dia ternyata pilih ‘ngedan’ di jalanan. Dengan tujuan berbuat baik dan menghibur para pejalan kaki. Itulah keunikan aksi sosial yang dilakukan Made di sela kesibukannya menjadi guru tari.

Karakter ‘edan’ lebih menonjol pada dandanannya saat beraksi. Dengan tampilan menor mirip badut. Dan selalu tersenyum lebar terhadap siapa pun yang ditemuinya di jalanan. Inem yang satu ini juga suka berbagi dan membantu orang lain. Inem selalu membawa tas kecil. Apa pun yang ada di dalam tas, itulah yang dia bagikan kepada banyak orang. Dia juga tak segan memungut sampah di jalanan. Lalu membuangnya di tong sampah. Ternyata karakter Inem Jogja sebagai ‘wong edan’ yang suka berbagi itu justru sebagai bentuk rasa terima kasihnya bagi Jogjakarta.

“Jadi awalnya ingin jadi manusia bermanfaat dan berguna. Karena selama ini saya sudah mendapatkan apa pun dari Kota Jogja,” ungkap sosok perempuan berparas ayu itu saat berbincang dengan Radar Jogja Kamis (4/5).

Saat itu Made sedang bersiap mengajar tari di sanggarnya. Dia meluangkan waktu sejenak untuk berbagi cerita tentang Inem Jogja.

Dorongan untuk berbuat baik bagi Jogja membuat Made lantas berinovasi. Caranya, mengemas suatu pertunjukan. Bukan semata-mata untuk hiburan. Tapi sekaligus mengedukasi masyarakat.

Lalu terbersitlah ide menjadi Inem. Sosok berpenampilan lucu dan humoris. Yang hobi bagi-bagi rezeki. Bukan Inem pelayan seksi ala sinetron lawas era 90-an.

“Karakter ini tercipta tanpa direncanakan. Semua yang Inem pakai berasal dari apa yang saya punya di rumah. Semua mengalir begitu saja,” tutur ibu dua anak itu.

Menurutnya, karakter Inem terinspirasi dari tari edan – edanan. Yang memiliki filosofi sebagai tolak bala.

“Tujuan saya, Inem Jogja sebagai simbol. Simbol sebagai tolak bala bagi Kota Jogja,” jelasnya.

Keluarga Made sangat mendukung ide itu. Made hanya bilang untuk sosial eksperimen. Namun setelah mengetahui aksinya, keluarga justru mendukung penuh. Bahkan kedua anak Made sangat menyukai penampilan ibunya saat menjadi Inem.

Made tak segan merogoh kocek sendiri untuk berbagi. Bersama suaminya, dia menyisihkan sebagian penghasilan untuk kegiatan sosial itu.

Inem kadang membawa nasi bungkus. Lalu dibagi-bagikan kepada orang-orang yang tampak membutuhkan. Kadang dia bawa sembako. Dan lain-lain. semua yang dibawanya adalah barang-barang yang bermanfaat. Kebutuhan sehari-hari.

“Sering juga saya ambil sampah di Jalan Malioboro. Terus saya nasihati orang yang duduk di dekat sampah itu,” katanya.

Untuk keberlanjutan aksi sosial itu Inem Jogja mengajak partisipasi masyarakat. Untuk ikut berbagi. Lewat platform : kitabisa.com/inemjogja.

Inem Jogja pun kini ‘beroperasi’ tak hanya di jalanan Jogjakarta. Tapi telah menjangkau desa-desa. Dengan harapan Inem Jogja bisa menjadi influencer yang berpengaruh baik bagi masyarakat. Yang tadinya melihat Inem hanya sebagai banyolan bisa ketularan. Atau yang iseng melihat Inem lantas mau menyisihkan uang untuk berbagi nasi bungkus atau sembako. Atau yang semula iseng melihat aksi Inem lantas mau mengajarkan anak-anak mereka tentang kesenian.

Ke depan, kemunculan Inem-Inem baru tentu akan menjadi virus baik yang tak sekadar bernilai sosial. Tapi lebih dari itu. Meskipun tanpa harus berdandan dan mengenakan kostum ala Inem Jogja.

Anda tertarik? Segeralah beraksi. Atau setidaknya donasikan sedikit rezeki Anda untuk berbagi kepada siapa saja yang membutuhkan. (har/yog/rg)