Joko Triharmanto alias Jack Harun. Sosok yang terlibat sebagai perakit bom Bali I itu kini menggeluti usaha kuliner. Dia juga mendirikan Yayasan Gema Salam. Untuk mewadahi eks narapidana terorisme. Berikut kisahnya.
DWI AGUS, Jogja
MENDENGAR nama Jack Harun langsung terlintas masa kelam. Teroris. Namanya mencuat karena terlibat kasus bom Bali I pada 12 Oktober 2002. Dia berperan sebagai perakit bahan peledak itu.
Kemampuan itu diperolehnya dari Noordin M. Top. Pentolan teroris paling dicari Densus 88 ketika itu.
Kini pemilik nama asli Joko Triharmanto memiliki profesi baru. Tangan yang dulu piawai merangkai kabel dan bubuk mesiu itu kini cekatan meracik bumbu masakan. Bersama sang istri dia membuka usaha kuliner soto di Manang, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Dia juga membuka usaha kerajinan blangkon. “Sekarang saya sudah kembali ke NKRI dan mengakui tindakan saya dulu salah,” katanya kepada Radar Jogja di kawasan Kotagede, Jogja Minggu (19/5).
Program deradikalisasi pemerintah mengubah pandangannya. Sosok yang dulu terkesan radikal itu mampu menyikapi permasalahan dengan bijak. Melalui Yayasan Gema Salam yang didirikannya Joko merangkul eks narapidana teroris (napiter) untuk kembali ke Ibu Pertiwi.
Pasca peristiwa bom Bali I Joko hidup berpindah-pindah tempat persembunyian. Selama kurang lebih dua tahun dia menyembunyikan jati dirinya.
“Saya ditangkap setelah peristiwa bom Kuningan. Saya ingatnya dua tahun setelah bom Bali,” kenang pria asal Kulonprogo itu.
Kini kehidupannya jauh lebih baik. Membuang segala amarah dan kebencian, dia menekuni bisnis kulinernya. Perlahan warung soto yang diberi nama “Bang Jack” kian menampakkan hasil. Kehidupan ekonomi keluarganya pun mulai terangkat.
Warung soto itu bukan usaha pertamanya. Selepas menjalani hukuman, Joko pernah membuka usaha wedangan. Mirip angkringan. Apda 2016 lalu. Namun usaha itu tak bertahan lama. Hanya bertahan setahun. Joko mengaku tak kuat begadang tiap malam. Karena itu dia pilih menutup usaha wedangan-nya.
Joko terus memutar otak. Agar asap dapur tetap mengepul. Maka tercetuslah ide membuka warung soto. Warung ini hanya buka tiap pagi. Sudah dua tahun berjalan.
Joko bisa dibilang nekat membuka warung soto. Apalagi sebelumnya dia tak punya ilmu meracik bumbu soto. Pun jenis kuliner lainnya. Bermodal tekad, Joko terus mencoba aneka resep soto. Dia tak mau pakai bumbu instan.
“Ternyata meracik bumbu soto itu susah, karena tidak bisa asal,” ungkapnya. “Resepnya harus khas dan sedap. Kalau dibandingkan malah lebih mudah meracik bahan peledak (bom),” canda sosok kelahiran 1976 itu.
Merasa bisa menemukan jalan hidup baru, muncullah pemikiran untuk menyadarkan kolega-kolega lamanya. Berdirilah Yayasan Gema Salam. Saat ini beranggotakan 40 orang. Mereka fokus pada kegiatan sosial dan ekonomi.
Melalui yayasan ini Joko ingin semua eks napiter bisa kembali diterima di masyarakat. Menurutnya, eks napiter bisa kembali ke masyarakat dengan dua syarat. Kesadaran diri sendiri dan dukungan masyarakat. Dengan begitu para eks napiter bisa memperbaiki masa depan mereka. Juga demi menyambung hidup keluarga.
Anggota Gema Salam mayoritas dari Jogjakarta dan Jawa tengah. Mereka sering mengadakan pertemuan dan dialog. “Kami fokus mengembalikan dan menjadi manusia seutuhnya tanpa kebencian,” ujar Joko.
Memang tak mudah menjalankan misi itu. Sgitma negatif masih terus bermunculan. Itulah mengapa dia kerap melibatkan aparat hingga tokoh-tokoh masyarakat. Untuk kegiatan sosial.
“Stigma sebagai mantan teroris itu melekat kuat. Ini yang terkadang membuat gerak kurang nyaman,” katanya.
Joko tak kehilangan akal. Untuk meluruhkan stigma itu. Salah satunya lewat program soto gratis tiap Jumat. “Ini bukti bahwa kami sudah bisa membaur, berbagi, dan melepas masa lalu yang kelam,” tegasnya.(yog/rg)