SLEMAN – Kasus pungutan liar (pungli) di Kawasan Lava Tour Merapi berdampak buruk pada citra wisata di sana. Membuat kesan buruk bagi wisatawan.
Salah seorang pelaku wisata Lava Tour Jip Merapi sisi timur, yang enggan menyebutkan namanya mengatakan, masalahnya kompleks. Sudah terjadi berulang kali meski sudah diingatkan.
“Warga sekitar sudah no comment. Saya saja sudah muak, itu sudah terjadi berkali-kali,” katanya kamis (13/6).
Oknum tersebut, kata dia, merusak citra pariwisata Kaliadem. Dia khawatir berdampak pada minat wisatawan yang menurun.
“Yang membuat kesan wisatawan buruk saat akan ke petilasan Mbah Maridjan ya satu orang itu,” katanya kesal.
Apalagi, kasus ini viral di media sosial. Sudah tersebar luas. Pada akhirnya akan berpengaruh terhadap menurunnya kunjungan wisatawan. “Pasti mereka yang tahu dan membaca medsos segan ke sini,” katanya cemas.
Sedangkan Ketua Asosiasi Jip Wisata Lereng Merapi (AJWLM) sisi barat, Dardiri mengatakan, kasus tersebut belum berpengaruh untuk wisatawan sisi barat. Pihaknya tetap berkoordinasi dengan pelaku wisata sisi timur agar kawasan wisata Merapi bebas pungli.
“Memang orangnya agak susah. Kami sudah klarifikasi ke yang bersangkutan. Katanya sudah tidak (melakukan pungli). Ternyata masih,” kata Dardiri.
Dardiri menjelaskan, oknum tersebut melakukan aksinya pada hari libur besar. Oknum tersebut beraksi saat pagi sebelum banyak wisatawan datang.
Sepengetahuan Dardiri, oknum tersebut memaksakan kehendak agar wisatawan mau menggunakan jasanya. Sehingga membuat takut wisatawan.
“Ini kan dengan memaksakan kehendak akan menurunkan wisatawan. Aksi pelaku ini menakutkan bagi wisatawan,” kata Dardiri.
Dia turut menginformasikan kepada wisatawan agar tidak terjebak pungli. ‘’Dan melapor jika ditemukan adanya pungli,” kata Dardiri.
Penelusuran Radar Jogja, ada dua lokasi yang sering dipakai memungli wisatawan. Keduanya ada di Dusun Ngrangkah, Umbulharjo, Cangkringan.
Di dua lokasi itu wisatawan baik yang menggunakan kendaraan roda dua maupun empat dicegat dan diminta parkir. “Namun kami tidak memaksa,” kata petugas yang sering mencegat wisatawan, Prayitno.
Dia berdalih, kalau wisatawan ingin naik dengan kendaraan sendiri diperbolehkan. Termasuk jika hanya parkir kendaraan di sana.
“Jadi kalau tidak pakai jasa dan hanya parkir monggo. Kalau naik jalan kaki, karena aturannya seperti itu,” dalih Prayitno.
Dia mengatakan, apa yang dilakukannya sesuai Peraturan Desa (Perdes) 20/2017. Sehingga hal itu bukanlah pungli. “Tiket kami juga resmi,” kelit Prayitno.
Sama dengan lokasi kedua. Yaitu lokasi di atas tempat parkir yang dikelola Sri Widarni, warga Ngrangkah. “Kami juga resmi, karena di sini ada tiket,” kata Widarni.
Yang berbeda, di lokasi milik Prayitno, anggota dibelali seragam. Di lokasi Wirdani tidak memakai seragam.
Cara mencegat wisatawan berbeda. Di lokasi milik Wirdani mencegat langsung di tengah jalan. Sehingga banyak wisatawan yang berhenti.
Wirdani mengatakan, kendaraan yang digunakan untuk mengantar wisatawan hanya motor bebek biasa. Bahkan ada juga yang matic. Namun sudah tua.
Wirdani mengaku, jika wisatawan yang berhenti dan mau ditawari untuk diantar, pihaknya akan mengantar. “Jika wisatawan berlama-lama di atas, kami izin turun. Tapi kalau hanya sebentar, kami tunggu,” katanya.
Dari penuturan Wirdani, ada 20 petugas di lokasinya. Mayoritas ibu-ibu. Sedangkan di lokasi Prayitno ada 15 petugas. “Total ada 35 petugas,” jelasnya.
Saat dikunjungi, di dua lokasi itu ada petugas yang tengah memasang spanduk. Isinya menjelaskan tentang tarif retribusi. “Agar tidak ada salah paham. Dan kami tidak dianggap melakukan pungli,” jelasnya. (har/iwa/fj)