GUNUNGKIDUL – Anomali cuaca yang terjadi saat ini hendaknya menjadi pelajaran petani untuk meminimalisasi potensi gagal panen. Terutama pada musim tanam mendatang.
Pada pekan ini, Dinas Pertanian dan Pangan Gunungkidul mengirimkan petugas untuk mengikuti sekolah iklim. Sekolah tersebut digagas Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) DIJ.
Harapannya, petugas lapangan bisa mengetahui tanda-tanda dan cara antisipasi anomali cuaca. “Kemudian ilmu tersebut diinformasikan kepada petani. Sehingga tidak mengalami kerugian akibat perubahan iklim,” kata Kepala Dinas Pertanian Gunungkidul, Bambang Wisnubroto akhir pekan kemarin.
Dampak anomali cuaca pada musim tanam kedua (MT II) tahun ini sangat dirasakan petani. Sedikitnya 400 hektare (ha) lahan pertanian mengalami kekeringan. Dan berpotensi puso.
“Ada 10 kecamatan di Gunungkidul terkena dampak anomali cuaca tersebut,” ujar Wisnubroto.
Sepuluh kecamatan yang lahannya kering tersebut, Semin (75 ha), Patuk (194 ha), Karangmojo (10 ha), Ngawen (35 ha), dan Girsubo (6 ha). Selanjutnya, Wonosari (2 ha), Playen (12 ha), Ponjong (32 ha), Nglipar (8 ha), dan Gedangsari (25 ha). Kekeringan terjadi lantaran musim kemarau datang lebih cepat.
“Oleh sebab itu, mengantisipasi dampak kerugian lebih banyak, akibat perubahan cuaca yang begitu cepat, selama tiga hari (25-27 Juni 2019) kami mengirimkan petugas mengikuti sekolah iklim,” kata Wisnubroto.
Kepala Bidang Tanaman Pangan, Dinas Pertanian dan Pangan Gunungkidul, Raharjo Yuwono mengatakan, untuk menekan gagal panen ada Program Asuransi Usaha Tanaman Pangan (AUTP). “Syaratnya, petani harus menjadi anggota asuransi. Pengusulan keanggotaan dilakukan maksimal tanggal 10 pada awal MT melalui pendamping.
Petani yang ikut AUTP jika gagal panen akan mendapatkan kompensasi hingga Rp 6,5 juta per hektare. Petani membayar Rp 36 ribu, sisa dari total premi sebesar Rp 138 ribu, disubsidi pemerintah.
“Minimal satu hektare pengajuan. Itu juga bisa melibatkan kelompok tani,” ujar Raharjo. (gun/iwa/rg)