JOGJA – Warga yang menempati sepanjang Kawasan Pojok Beteng Timur Laut Jalan Bu Ruswo dan Brigjen Katamso bagian luar khususnya, masih terus menunggu jawaban dari Pemerintah Provinsi DIJ terkait penggantian pembayaran lahan yang terdampak rencana revitalisasi cagar budaya Pojok Beteng (Jokteng).
Dwiyanto Selaku yang dipercaya mewakili dari 13 KK sekaligus warga yang terdampak mengatakan poin permasalahannya berkaitan dengan penawaran harga ganti rugi yang belum ada titik temu. Alasannya, masih ada selisih antara pemilik lahan dengan pihak pemprov. “Ya belum ada titik temu. Harga yang ditentukan berbeda-beda setiap KK atau warga. Saya tidak tahu berapa besarannya,’’ terangnya.
Seperti lahan yang terdampak miliknya yang berdiri warung bernama “Bu Spoed”. Lokasinya berdiri di pojok antara Jalan Bu Ruswo dan Brigjen Katamso. Dia meminta pembayaran ganti untung lahannya senilai Rp 8 miliar. Namun, jumlah itu tak diindahkan oleh Prempov DIJ. Karena tanah yang ia tinggali dan dirikan warung makan itu ditawar jauh di bawahnya. Yakni Rp 5.82 miliar.
Dia memastikan bersama warga terdampak lainnya tidak menolak rencana revitaliasasi ini. Mereka akan mendukung. Bahkan merelakan lahannya untuk rencana program Pemprov DIJ dalam rangka revitalisasi cagar budaya Jokteng.”Pemprov bersikukuh dengan harga appraisal. Jadi penawaran dari pemprov itu disesuaikan dengan harga aset atau appraisal yang di bawah harga permintaan kami, ” tuturnya.
Dia tidak bisa menerima tawaran harga menurut biaya survei aset properti sekaligus pengecekan sertifikat HGB tanah dan harga jual properti. Karena menyesuaikan dengan harga pasar yang berlaku. Menurutnya selama ini tidak ada komunikasi maupun petugas yang diberikan mandat dari Pemprov DIJ untuk datang ke setiap rumah warga melakukan survei aset properti atau peninjauan lokasi.
Di samping itu, harus adanya laporan fisik dengan menyinkronkan sesuai dokumen sertifikat tanah. Menurutnya, idealnya appraisal harus memiliki patokan harga pasar wajar. Hal ini kata dia, yang harus dijadikan acuan untuk menilai spesifikasi rumah itu. Tetapi itu diperuntukkan bagi orang yang ingin menjual rumah atau membutuhkan dana segera. “Jadi jangan jadikan acuan ini untuk menilai rumah saya. Sementara kan kami nggak sedang butuh duit,” jelasnya.
Penerapan dengan sistem harga appraisal inilah yang dinilainya bukan solusi yang terbaik. Sebab ini bukan sedang dalam rangka menjual rumahnya. Melainkan pembayaran ganti untung lahannya. “Namanya penggantian ganti untung kan harus berdasarkan asas keadilan. Pihak pemilik dan calon pembeli lahan ada titik temu sesuai kesepakatan masing-masing warga. Inilah yang menjadi tidak sinkron keinginan warga dan pemprov,” terangnya.
Penerapan dengan perhitungan bank itu lanjut Yanto terkesan seperti ganti rugi. Bukan ganti untung. Bahkan dia selalu menggaribawahi pesan yang pernah disampaikan Gubernur DIJ Sri Sultan HB X melalui camat Gondomanan pada waktu itu, “Ngarsa dalem pernah pesan. Tolong warga kami yang terdampak jangan sampai tidak bahagia atau susah. Bagaiman caramu. Ini dulu yang disampaikan kepada kami pada saat sosialisasi,” ceritanya.
Dari ke 13 KK yang permintaannya belum diindahkan Pemprov DIJ ini dengan tawaran nilai penggantian yang beragam dari warga mulai dari Rp 60 juta sampai dengan Rp 17 miliar dengan spesifikasi luas lahan dan bangunan yang beragam. “Kalau luas tanah saya ini 118 meter persegi dengan luas bangunan 134 meter persegi,” tambahnya.
Dia mengungkapkan, tinggal di kawasan tersebut hingga generasi ketiga. Oleh sebab itu, dia meminta Pemprov DIJ memikirkan rencana tersebut secara baik.”Saya mewakili warga juga tolong dihargai dengan berapa kerugiannya. Saya bisa menyekolahkan anak saya dari hasil penjualan ini. Artinya saya harus babat alas lagi,” imbuhnya.
Sedangkan untuk warga bagian dalam yang juga terdampak lahan revitalisasi cagar budaya Jokteng tinggal menunggu waktu bongkar dan pindahannya. Menurut Ketua RT 14 Mangkunegaran, Panembahan Keraton Jogjakarta Dwi Raharjo, akan mulai melakukan pembongkaran rumahnya September mendatang. “Ya kalau kami gak ada kendala tinggal bersiap kemas-kemas saja memindahkan semua barang-barang kami termasuk material rumah yang bisa kami bawa,” ungkapnya.
Dwi yang sudah menempati rumah dengan lahan Hak Guna Bangunan (HGB) sejak 1974 silam ini mendukung apapun program Pemprov DIJ. Termasuk harus merelakan lahan yang ditempatinya yang berstatus HGB. Karena sudah sesuai kesepakatan dari awal dengan Ngarsa Dalem, jika sewaktu-waktu lahannya diminta, dilarang menuntut ganti rugi. Namun bisa menerima ganti untung dari pemerintah.
Kawasan dalam lahan terdampak yang berjumlah 13 KK termasuk satu merupakan lahan wakaf ini dengan nilai penggantian beragam. Mulai dari Rp 60 juta dengan ukuran paling kecil sampai dengan Rp 200 juta dengan bangunan resmi tembok dak atau bertingkat. Sedangkan untuk bangunan lama sekitar Rp 160 juta dan bangungan dengan dua kavling dihargai senilai Rp 300 juta.
Pencairan telah diterima full kepada belasan KK tersebut per Selasa lalu (11/6) melalui rekening bank. “Ya sebenarnya kalau harga segitu tidak bisa untuk membeli rumah baru. Jadi sambil menunggu mapan lagi, nanti mengontrak rumah untuk sementara,” imbuhnya. (cr15/din/er).