KULONPROGO – Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kulonprogo masih tinggi. Terdapat 40 kasus selama triwulan pertama 2019. Sebanyak 26 kasus di antaranya menimpa anak-anak. Mayoritas mereka menjadi korban kekerasan seksual.
“Kekerasan seksual, pemerkosaan, dan pencabulan ada sebanyak 12 kasus. Selebihnya kekerasan fisik, psikis, dan penelantaran,” kata Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak, Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Kulonprogo, Woro Kandini Jumat(12/7).
Dikatakan, semua kasus sudah diselesaikan melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Namun masih banyak kasus kekerasan pada anak yang tidak dilaporkan.
“Belum semua masyarakat memiliki kesadaran atas pelanggaran yang terjadi. Semisal perkawinan anak yang telah merenggut hak anak untuk tumbuh kembang, pendidikan, dan partisipasi,” kata Woro.
Menurut dia, trauma dan gangguan psikologis bisa terjadi pada anak korban kekerasan. Pihaknya memberikan pendampingan kepada para korban.
“Kami melakukan pendampingan secara psikologis bagi korban. Penanganan korban kekerasan seksual, kami kerjasama dengan rumah sakit dan kepolisian,” ujarnya.
Upaya preventif sudah dilakukan. Yakni dengan sosialisasi pada masyarakat. Membuka wawasan terkait kekerasan pada anak. Aturan perlindungan pada anak dan perempuan di Kulonprogo sudah ada, yaitu Perda 7/2015 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak.
“Dalam perda tersebut, semua warga wajib melapor jika melihat kekerasan pada perempuan dan anak,” tegas Woro.
Anggota DPRD Kulonprogo, Nur Eni Rahayu mengatakan, Pemkab harus proaktif memberikan sosialisasi terkait kekerasan pada perempuan dan anak. Kasus kekerasan banyak terjadi, tapi masyarakat enggan melaporkan.
“Pusat aduan sudah ada, namun belum banyak yang tahu. Sosialisasi harus lebih massif. Sampai ke pedukuhan. Apa yang dimaksud kekerasan terhadap perempuan dan anak. Bagaimana penanganannya,” kata Nur. (tom/iwa/fj)