PANGERAN Poeger menolak melepaskan gelarnya sebagai raja. Putra Susuhunan Hamangkurat Agung atau Sunan Amangkurat I dari permaisuri Ratu Wetan itu bersikukuh  menjalankan amanat ayahnya. Dia mengklaim ditunjuk menjadi pewaris takhta yang sah. Bukan kakaknya, Raden Mas (RM) Rahmat, yang belakangan jumeneng menjadi Sunan Amangkurat II.

Berbekal mandat pusaka tombak Kanjeng Kyai Ageng (KKA) Pleret dan keris KKA Manehanular, Poeger berkeyakinan takhta Mataram menjadi haknya. Karena itu, pangeran yang lahir dengan nama RM Dradjad ini tetap menggunakan gelar Susuhunan Ing Ngalaga.

Semula Poeger bertakhta di ibu kota sementara Mataram di Jenar, Purworejo. Setelah itu Sunan Ing Ngalaga berhasil merebut istana Plered yang ditinggalkan pendukung Trunajaya. Poeger menjadikan Plered sebagai pusat pemerintahannya.

Di pihak lain, usai mengalahkan Trunajaya, Amangkurat II membangun ibu kota  Mataram di Kartasura. Tak bisa dielakkan, Mataram punya dua raja. Sunan Ing Ngalaga berkuasa di Plered dan Sunan Amangkurat II bertakhta di Kartasura. Perang memperebutkan takhta kembali terjadi.

Poeger berhasil dipukul mundur dari istana Plered pada 1681 oleh pasukan koalisi VOC dan Amangkurat II. Meski tersingkir dari Plered, Poeger belum mau menyerah. Dia mengonsolidasi dan mengumpulkan kembali kekuatan. Poeger sempat melakukan serangan balasan.  Kartasura nyaris jatuh ke tangannya.

Untuk beberapa waktu, Mataram kembali terbelah dalam dua kubu. Bersama para pendukungnya, Poeger menjadi oposisi terhadap Amangkurat II. Poeger menolak mengakui kekuasaan kakaknya. Beberapa kali Amangkurat II berusaha membujuk adiknya itu.

Meski nyata-nyata menjadi oposisinya, Amangkurat II tidak ingin melenyapkan kekuatan Poeger. Kebijakan ini berbeda terhadap Trunajaya.  Semua pendukung Trunajaya ditumpas habis. Nasib tragis itu dialami dua ulama terkemuka, Panembahan Giri dari Giri Kedaton, Gresik dan Panembahan Rama asal Kajoran, Klaten. Mereka mengalami nasib ditumpes kelor ( dihabisi, Red)  hingga ke akar-akarnya.

Menghadapi Poeger, Amangkurat II bersikap  lunak. Raja mengirimkan beberapa utusan untuk melobi Poeger. Sunan Amral, sebutan lain dari Amangkurat II, menawari beberapa posisi penting bagi Poeger.

Amangkurat II ingin membangun kerukunan demi kejayaan Mataram. Dia tidak ingin keluarga Mataram pecah. Kegaduhan politik harus segera diakhiri. Sunan menawarkan jalan rekonsiliasi. Penguasa baru Mataram itu mengajak Poeger bergabung di pemerintahannya. Membangun kerajaan sesuai pidato visi Mataram yang diucapkan saat peresmian istana Kartasura.

Namun lobi politik Amangkurat II melalui utusan-utusan Mataram mentah. Poeger bersikukuh menolak bergabung. Sunan Ing Ngalaga lebih mendengarkan nasihat pendukungnya. Khususnya dari kalangan ulama. Maklum, Poeger dari garis ibunya, Raden Ayu Wiratsari, dari trah Kajoran. Keturunan Sunan Bayat, salah satu wali berpengaruh di era Kasultanan Pajang dan Mataram semasa di Kotagede.

Keluarga Poeger juga punya hubungan darah dengan  Ki Ageng Giring. Tokoh legendaris asal Sada, Paliyan, Gunungkidul. Poeger semula mengira Amangkurat II bukanlah kakaknya. Tapi anak gubernur VOC di Jepara Cornelis Speelman, yang menyamar menjadi RM Rahmat. Berita yang simpang siur ini menjadi pemicu kegaduhan.

Setelah melewati beragam dinamika, Poeger akhirnya bersedia bergabung ke Kartasura. Salah satu pertimbangannya, dia mendengarkan ajakan kakaknya. Amangkurat II ingin Poeger membantunya menangkal pengaruh VOC yang makin luas.

Tanggal 28 November 1681 Poeger diterima Amangkurat dalam jamuan makan siang di Sasana Handrawina Istana Kartasura. Aneka kuliner dihidangkan. Salah satu makanan favorit adalah sate Ponorogo. Baik raja maupun adiknya sama-sama penggemar sate.

Rekonsiliasi itu juga  dihadiri Panembahan Natapaja dari Kadilangu, Demak. Natapraja masih keturunan Sunan Kalijaga. Dia dianggap menjadi sesepuh Mataram. Natapraja berjasa ikut meruntuhkan Giri Kedaton saat perang pada April 1680. Natapraja juga menjadi legitimasi Kartasura sebagai kelanjutan dari Mataram yang sebelumnya berada di Plered.(yog/rg/bersambung)