Air tawar. Desa di pesisir Sumenep. Memiliki tradisi unik. Yang dipertahankan sampai sekarang. Tak tergerus perkembangan teknologi melaju kencang di era digital. Kebiasaan warga Air Tawar. Tidur beralaskan kasur pasir.
Kasus pasir ditempatkan secara khusus di kamar. Selain di kamar tidur. Kasur pasir terbentang di halaman rumah. Ada manfaat kasur pasir tergelar di halaman rumah. Kasur pasir juga difungsikan sebagai tempat tidur. Manfaat berikutnya kasur pasir sebagai ruang berinteraksi antar anggota keluarga dan tetangga.
Interaksi yang terjaga. Biasanya dilakukan waktu malam tiba. Mereka bercengkerama. Membahas apapun. Proses ini yang menjadikan ikatan batin di antara meraka amat dekat. Merasa terus menjadi bagian dari keluarga. Secara emosi tak terpisah. Nuansa kekeluargaan amat terasa.
Di dalam diri mereka. Tumbuh sense of community yaitu perasaan komunitas yang selalu hadir. Tak hilang. Meski milenial terus berlari. Barangkali. Bagi dusun-dusun lain. Perasaan komunitas telah hilang. Ikut bergegas bersama jaman milenial.
Dulu. Ketika jaman masih hening. Komunitas masyarakat dusun. Masih terjalin kebersamaan. Disatukan ikatan batin yang lekat. Satu komunitas adalah keluarga. Seperti anak tetangga adalah anak sendiri.
Sekarang. Perasaan komunitas hilang. Pergeseran kemajuan teknologi informasi menjadikan masyarakat urban tak hanya tergantung pada wilayah. Masyarakat urban juga tergantung pada dunia maya.
Dunia maya membikin dunia tanpa batas. Kampung-kampung yang jauh dari pusat bisnis tak ketinggalan larut dalam dunia maya. Dampaknya acapkali terjadi reduksi pada kearifan lokal. Ada sebagian kearifan lokal yang pelan-pelan meranggas.
Seperti masa itu. Ketika melihat anak tetangga main ke tempat yang jauh dari rumah. Menjelang malam tiba. Kalau tidak pulang bisa membahayakan dirinya. Anak tersebut diajak pulang oleh tetangga. Anak diantar ke orang tuanya. Ini karena memperlakukan anak tetangga. Seperti anak sendiri.
Seperti masa itu. Saat anak berbuat nakal. Tetangga melihat. Berani menegur. Tetangga bisa memberi nasehat-nasehat. Agar anak memahami kesalahan. Dan tak mengulangi perilaku yang merugikan diri.
Keberanian menegur anak. Meski bukan anak sendiri. Karena kerelaan hatinya. Memperlakukan anak tetangga. Seperti anak sendiri. Kalau terjadi masalah yang menanggung akibatnya bukan hanya orang tua. Namun tetangga juga ikut terbebaniatas aib anak di komunitasnya.
Beda dengan keadaan sekarang. Sense of community memudar. Kebersamaan merenggang. Ikatan kebersamaan hanya sekedar berada di permukaan. Tak lagi punya keberanian menghampiri anak tetangga untuk diantar pulang ke orang tuanya.Tak lagi punya nyali menegur anak tetangga bila berbuat salah. Karena anak tetangga bukan lagi dianggap anak sendiri.Ada ketakutan kalau orang tua tersinggung. Hal ini sudah menyangkut urusan privasi.
Jaman milenial memang cepat merubah masyarakat komunal menjadi masyarakat individual. Urusan sendiri-sendiri. Yang jauh terasa dekat. Yang dekat terasa jauh. Sense of community yang menipis ini menjadikan prososial menghilang.
Maka tak heran. Sense of community rendah menyebabkan abai nasib tetangga. Tak peduli. Ternyata nenek yang tinggal sendirian sudah beberapa hari tak makan. Ada pembiaran keluarga miskin tinggal di kandang ayam. Bahkan ada kejadian. Suami istri renta meninggal. Beberapa hari tak ketahuan tetangga.
Situasi itu tak akan terjadi di desa Air Tawar. Mereka telah mempertahankan benteng sense of commnuity yang kuat. Mereka saling membantu. Benteng sosial yang kokoh.
“ Tidak mungkin di sini tak bisa makan. Tahu tidak bisa makan. Tetangga akan mengantarkan makan. Tanpa diminta, “ kata salah satu warga.
“Kalau punya masalah terasa ringan. Saat ada masalah. Tetangga ikut membantu menyelesaikannya, “ katanya lagi.
Seperti yang saya alami. Saat bertandang ke Air Tawar bersama warga setempat yang pulang kampung. Mendengar kabar dirinya pulang. Tetangga. Sesama komunitas. Memberikan suguhan yang terbaik. Dan kami bisa ikut menikmatinya. Buah dari sense of community yang melekat erat.
Penulis adalah dosen Fakultas Psikologi UAD