BAGI raja Jawa suksesi adalah persoalan sensitif. Seorang raja tidak ingin masalah itu dicampuri pihak-pihak lain. Sebab, itu menyinggung harga diri dan martabat seorang Narendra Mataram.
Suasana batin itu dirasakan Susuhunan Paku Buwono II melihat sepak terjang Van Velsen, komandan Garnisun Kompeni di Kartasura. Sejak beberapa waktu Velsen menjalin kontak dengan PangeranĀ Tepasana dan Pangeran Hangabehi. Mereka beberapa kali tepergok menggelar pertemuan-pertemuan khusus.
Hubungan terjalin setelah intelejen VOC mempelajari situasi politik di lingkungan Istana Kartasura. Terutama menyangkut sikap keluarga kerajaan terhadap perlawanan orang-orang Tionghoa melawan Kompeni.
Dari laporan biro telik sandi Velsen disimpulkan, Paku Buwono II dipastikan melawan VOC. Karena itu, Velsen memberikan masukan. Sebaiknya Kompeni mengajak sejumlah pangeran yang dekat dengan lingkaran suksesi bergerak menghadapi Paku Buwono II.
Dari kajian intelejen, Pangeran Tepasana dan Pangeran Hangabehi dinilai paling berpotensi melawan raja. Kajian itu didasarkan atas beberapa pertimbangan. Pangeran Tepasana merasa lebih berhak atas takhta Mataram. Dia adalah putra Sunan Amangkurat III. Raja Mataram kedua di Kartasura. Tepasana juga cucu dari Amangkurat II. Pendiri ibu kota Mataram Kartasura setelah pindah dari Plered.
Nasib ayah Tepasana, Amangkurat II, terguling dari takhta didongkel paman sekaligus mantan mertuanya sendiri, Pangeran Poeger. Amangkurat III kemudian diasingkan di Sri Lanka. Setelah bertakhta Poeger bergelar Paku Buwono I.
Adapun Paku Buwono II adalah cucu dari Paku Buwono I. Dia anakĀ Amangkurat IV. Anak Poeger ini memilih tidak memakai gelar seperti ayahnya. Dia lebih mengikuti gelar kakeknya, Amangkurat I. Gelar Paku Buwono II baru dipakai cucu Paku Buwono I. Kemudian dilestarikan oleh raja-raja Mataram Surakarta hingga sekarang.
Anak-anak Amangkurat III semula ikut diasingkan di Sri Lanka. Termasuk Pangeran Tepasana. Mereka baru diizinkan kembali ke Kartasua di masa Paku Buwono II. Peristiwanya tak lama setelah Amangkurat III wafat.
Kepulangan itu dilakukan karena para kerabat Amangkurat III masih menyimpan beberapa pusaka Mataram. Mereka diminta mengembalikan pusaka seperti keris dan bende. Salah satunya bende Kyai Bicak.
Tindakan Velsen mendukung kalangan oposisi dinilai sebagai intervensi terang-terangan Kompeni terhadap jalannya suksesi. Bagi Paku Buwono II, suksesi pantang dicampuri orang luar. Sekutu dari para musuh-musuhnya akan menjadi lawannya. Sebaliknya, mereka yang melawan musuh akan dijadikan kawan.
Paku Buwono II merasa tersudut oleh manuver Velsen. Sunan tidak dapat membiarkan takhtanya diprovokasi oleh Kompeni. Saat itu, raja yakin dan percaya diri Mataram sedang berada di puncak kekuasaan tertinggi.
Sunan ingin menunjukkan raja Mataram tidak dapat ditakut-takuti. Sebaliknya, VOC justru yang akan dibikin ketakutan. Untuk menjalankan misi itu, Patih Notokusumo diperintahkan merancang strategi. Mengacaukan skenario Kompeni terkait upaya penggalangan kekuataan Pangeran Tepasana.
Notokusumo menjalankan perintah itu. Dari pengamatannya, ancaman serius adalah garnisun Velsen. Kekuatannya terdiri 200 tentara Eropa dengan persenjataan bedil dan meriam yang lengkap.
Pasukan ini dinilai punya kemampuan menyerang istana. Lalu menaikkan Pangeran Tepasana menjadi Susuhunan, sebagaimana pengalaman Poeger menggusur takhta Amangkurat III.
Kemungkinan terburuk itulah yang harus diantisipasi. Jangan sampai lengsernya Amangkurat III terulang gara-gara provokasi Kompeni terhadap oposisi.(yog/fj/bersambung)