Muthowil sukses menyulap kampungnya yang masih orisinal dikenal wisatawan mancanegara. Perpaduan sepeda ontel dan nuansa pedesaan membuat turis Eropa kesengsem

HENDRI UTOMO, Kulonprogo

LOKASINYA ndelik. Di pelosok pedesaan. Suasananya khas ndeso. Masih banyak area persawahan. Masyarakatnya juga masih ”lugu-lugu”. Khas orang desa. Itulah Pedukuhan Bantar Kulon, Banguncipto, Sentolo, Kulonprogo.

Jaraknya dari pusat Kota Jogja juga lumayan. Sekitar 17 kilometer. Namun, turis mancanegara hilir mudik bersinggah. Ingin menikmati suasana liburan dengan pemandangan khas ndeso itu. Beserta dengan kearifan lokalnya. Yang tidak ada di negeri mereka. Atau setidaknya berbeda dengan kampung halaman mereka.

SENSASI BARU: Towil mengajak tamunya memasukkan batang padi ke sebuah mesin pemisah gabah. (HENDRI UTOMO/RADAR JOGJA)

”Ada Belanda, Italia, Swiss, Jerman, dan Belgia. Banyak turis Eropa yang pernah ke sini,” ucap Muthowil, warga Pedukuhan Bantar Kulon belum lama ini.

Mashurnya Pedukuhan Bantar Kulon itu tidak ujuk-ujuk. Ada sentuhan tangan dingin Muthowil. Towil, begitu dia akrab disapa, paham betul dengan selera bule. Towil menyulap rumahnya menjadi semacam basecamp. Desainnya berarsitektur Jawa kuno.

”Namanya Towil Fiets,” ucap Thowil yang menyematkan namanya pada nama rumahnya itu.

Towil juga memajang 100 unit sepeda ontel di rumahnya yang dilengkapi dengan pendapa itu.

Towil saat itu berangan-angan ingin mensinergikan sepeda ontel dengan potensi kampungnya yang masih orisinal. Pria berambut gondrong ini yakin bule pasti kesengsem dengan perpaduan sepeda tua dengan nuansa pedesaan.

”Lalu, saya membuat paket wisata,” kenang pria yang hobi bersepeda ontel ini.

Towil turun langsung menjadi guide. Dia mengajak tamu-tamunya berkeliling kampung. Dengan mengendarai sepeda ontel. Berbekal kemampuan berbahasa Inggris, Towil bisa menjelaskan satu per satu potensi di kampungnya. Yang pasti tidak ada di Eropa.

Bahkan, Towil tak sungkan mengajak tamu bulenya itu membaur dengan warga. Ikut beraktivitas. Seperti memanen padi hingga membuat stagen. Juga mengajak mereka memberi pakan sapi warga. Yang digembala di sawah.

Yang tak ”lazim” lagi, Towil juga memperkenalkan aneka buah, sayur, dan rempah-rempah lokal. Sebut saja, belimbing wuluh, sereh, lengkuas, kencur, dan daun lindi.

”Kami jelaskan semua itu fresh dan asli tumbuh di tanah desa kami,” tuturnya.

Berapa tarif paketnya? Towil membuat tiga paket wisata. Yakni, short, medium, dan long time. Itu disesuaikan dengan keinginan wisatawan. Sebab, usia bule yang melancong beragam. Dari anak-anak, remaja, hingga orang tua. Namun, harganya tetap terjangkau. Wisatawan cukup merogoh kocek Rp 350 ribu per orang.

”Ada makan siang dan makan malam. Tambah Rp 100 ribu jika ingin mengikuti satu paket alternatif,” sebutnya.

Konsep wisata ala Towil itu banyak memikat wisatawan mancanegara. Mereka menemukan banyak sensasi di pedesaan. Salah satunya Joy Auwens.

”Kami bisa merasakan suasana pedesaan yang khas dan buah-buahan yang segar. Luar biasa indahnya,” ucap bule Belanda yang datang bersama tiga puteranya ini.

Ada dua destinasi yang dikunjungi Joy saat berada di Indonesia. Yakni, Jogja dan Bali.

”Ke Towil Fiets ditawari agen perjalanan wisata,” tuturnya. (zam/by)