SLEMAN – Sebanyak 10 persen masyarakat Sleman mengalami gangguan jiwa. Baik kategori ringan maupun berat. Didominasi masyarakat berusai 20 sampai 44 tahun. Disebabkan tekanan yang menumpuk sejak anak-anak sampai remaja.

Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan (Dinkes) Sleman Novita Krisnaini menjelaskan masa transisi anak ke remaja dan dewasa, rawan terkena gangguan jiwa. Faktornya, didominasi masalah ekonomi. Selain itu, faktor bullying dan tuntutan berbagai pihak menjadi penyebab stres.

Haus segera ditangani. Gangguan jiwa ringan berupa tidur kurang dan tidak berkualitas, nafsu makan berkurang, dan suka menyendiri. Jika berlangsung lama, akan menderita gangguan jiwa berat. “Bisa bunuh diri,” jelas Novita (18/8).

Pada 2017 tercatat 19 kasus bunuh diri. Pada 2018 ada 11 kasus. Sedangkan tahun 2019 belum ditemukan kasus bunuh diri.

Untuk menekan gangguan jiwa berat, pihaknya menyiapkan 25 psikolog. Ditempatkan di seluruh puskesmas di Sleman.

Namun kunjungan pasien dengan kasus gangguan jiwa pada 2018 hanya 3,08 persen. Padahal target kunjungan setiap tahun 3,4 persen. Setiap bulan kunjungan pasien di puskesmas mencapai 110 orang.

“Dengan kasus tertinggi di Kalasan. Sedangkan untuk Prambanan dan Sleman tergolong rendah. Di bawah 110 pasien,” kata Novita.

Tidak hanya masyarakat yang harus sadar kesehatan mental. Psikolog diminta aktif melakukan sosialisasi. Selain itu, psikolog akan mendatangi dokter umun maupun spesialis dari balai pengobatan umum untuk mendapatkan rujukan pasien yang mengalami gangguan jiwa.

Selain itu, membentuk Desa Sehat Jiwa dan Sekolah Sehat Jiwa dilakukan. Dengan adanya kader dan sosialisasi yang dilakukan, mampu mendeteksi gangguan jiwa.

Memberdayakan masyarakat setempat maupun guru dan siswa di sekolah memudahkan pemantauan masyarakat yang memiliki gangguan jiwa. Maupun masyarakat yang sedang melakukan pengobatan. “Bisa diberdayakan untuk mengontrol konsumsi obat,” ucap Novita.

Selain itu, masyarakat yang sudah mulai peduli gangguan jiwa, membuat kasus pasung mulai berkurang. Ada lima kasus pasung ditemukan di Sleman, dua lainnya di Seyegan, Turi, dan Mlati. Korban pasung memiliki gangguan jiwa berat dan skizofrenia.

Novita mengingatkan, jika ditangani sesuai prosedur, korban gangguan jiwa tidak perlu mendapat perlakuan pasung. Biasanya, pasung dilakukan karena keluarga malu dan khawatir mengganggu warga. (cr7/iwa/fj)