ISTANA Kartasura benar-benar jatuh ke tangan Laskar Tionghoa. Penguasa Kerajaan Mataram kembali beralih dari Dinasti Pangeran Poeger (Paku Buwono I)  balik ke Dinasti Amangkurat II.  Kolaborasi antara orang-orang Tionghoa dengan birokrat Jawa sekarang berkuasa di Mataram.

Sehari setelah berhasil mengusir Paku Buwono II, Kapitan Sepanjang, pemimpin laskar  Tionghoa menjemput Raden Mas (RM) Garendi dari Desa Ngasem.  Dari Desa Ngasem, Garendi diarak masuk ke istana Kartasura. Luapan kegembiraan tampak dari raut wajah para pendukungnya.

Upaya melawan Kompeni tak sia-sia. VOC berhasil mereka pukul mundur. Gerakan people power juga sukses melengserkan Paku Buwono II. Oleh para pendukungnya, Garendi yang baru berusia 16 dibawa ke Bangsal Sitihinggil. Dia kemudian lenggah dampar kencana (duduk di singgana).

Hari itu 1 Juli 1742, cucu Amangkurat III dinobatkan menjadi raja Mataram bertakhta di ibu kota Kartasura. Gelarnya Susuhunan Amangkurat V Senopati ing Alaga Abdurrahman Sayidin Panatagama.

Tak butuh waktu lama bagi raja baru membentuk kabinet. Sunan Kuning mengumumkan nama-nama menteri. Bupati Pati Mangunoneng dinyatakan tetap pada kedudukannya sebagai patih.

Bupati Grobogan Martapuro dilantik menjadi menteri koordinator politik dan keamanan. Martapuro menjadi tangan kanan raja. Dia dipercaya menyelesaikan berbagai urusan kerajaan. Tak terbatas keamanan. Namun juga ekonomi, politik luar negeri dan lainnya.

RM Said atau Pangeran Suryokusumo dipercaya menjadi Panglima Tentara Nasional Mataram. Dengan posisi itu, Said juga dikenal dengan sebutan Pangeran Prangwadana. Said adalah putra Pangeran Mangkunegara Kartasura, kakak Paku Buwono II. Karena konflik politik, Mangkunegara Kartasura ini diasingkan  ke Afrika Selatan.

Nama Mangkunegara kelak digunakan Said setelah perjanjian Salatiga 17 Maret 1757. Dia mendirikan Dinasti Mangkunegaran bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangkunegara I.

Tradisi militer sangat kuat berkembang di lingkungan Mangkunegaran. Calon penguasa kadipaten itu harus menguasai ilmu perang. Karena itu, gelar putra mahkota Mangkunegaran sama seperti yang dipakai Said semasa menjadi panglima perang Sunan Kuning. Pangeran Prangwadana.

Dengan jabatan sebagai panglima perang, Amangkurat V meminta Said belajar strategi perang dengan Kapitan Sepanjang. Di mata penguasa baru Mataram itu, Sepanjang punya kemampuan militer yang mumpuni. Jam terbangnya memimpin operasi militer sudah tidak terhitung. Sangat tepat Said berguru dengan Kapitan Sepanjang.

Setelah berjalan beberapa bulan, pemerintahan Amangkurat V mulai bermasalah. Beberapa kebijakannya dinilai tidak tepat. Perekonomian Mataram mengalami kemunduran.  Beberapa badan usaha milik kerajaan merugi. Bahkan terancam bangkrut. Krisis ekonomi membayangi Mataram.

Harga-harga melambung. Pasokan pangan dan barang yang dibutuhkan rakyat tersendat. Salah satu pemicunya stabilitas keamanan. Perang melawan VOC dan Paku Buwono II belum berakhir.

Di daerah pesisir, pasukan Sunan Kuning sibuk menghadapi serangan VOC. Begitu pula di sisi timur Kartasura. Para pendukung setia Paku Buwono II beberapa kali melancarkan serangan balik. Kerusuhan terjadi di sejumlah tempat. Amangkurat V dan kabinetnya rupanya kurang cakap  mengendalikan pemerintahan.

Sejumlah pejabat memilih mengundurkan diri. Misalnya Pangeran Hadiwijoyo meninggalkan Kartasura dan bergabung dengan Paku  Buwono II di Ponorogo. VOC juga terus mengadakan konsolidasi. Targetnya merebut kembali Kartasura, ibu kota Mataram. (laz)