TIM bentukan Sunan Paku Buwono II baru saja selesai menjalankan tugas nitik  alias observasi atas tiga calon lokasi ibu kota Mataram. Dari tiga alternatif Desa Kadipolo, Desa Sangkrah/Sonosewu dan Desa Sala, jatuh pada pilihan ketiga. Yakni Desa Sala.

Hasil observasi itu kemudian dilaporkan kepada Paku Buwono II. Tindak lanjutnya Sunan kembali membentuk tim. Tugasnya untuk nitis atau mengadakan survei. Tim tersebut terdiri atas Pangeran Wijil, Kalifah Buyut (abdi dalem Suranata), Mas Penghulu Fakih Ibrahim, Tumenggung Tirtawiguna (sekretaris Sunan) dan Pangeran Mangkubumi.

Mengutip buku RM Soemardjo Nitinegoro berjudul Berdirinya Ngayogyakarta Hadiningrat disebutkan, Pangeran Mangkubumi dalam tim survei itu bertindak sebagai pemimpin kegiatan/proyek (pimpro). Dia dibantu Tumenggung Honggowongso. Mangkubumi kelak berdasarkan Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 bertakhta menjadi Sultan Hamengku Buwono I.

Dari kajian tim survei diperoleh gambaran tentang kondisi tiga alternatif calon lokasi ibu kota pengganti Kartasura itu. Mula-mula Desa Kadipolo digambarkan tanahnya lempar waridin. Sitinipun gasik.  Posisi atau situasinya baik. Mayor Hohendorff, Patih Pringgalaya dan Tumenggung Sindurejo menyetujui Desa Kadipolo sebagai lokasi ibu kota yang baru. Pendapat itu disampaikan saat ketiga orang itu duduk sebagai anggota tim observasi.

Satu-satunya anggota tim yang keberatan adalah Tumenggung Honggowongso. Sebagai futurolog, Honggowongso menyatakan Kadipolo tempatnya baik dan  berkembang. Namun akan cepat mengalami kerusakan. Bila ibu kota Mataram dibangun di Kadipolo nasibnya akan seperti Plered maupun Kartasura. Usia sebagai pusat kerajaan tidak sampai 100 tahun. Rusak karena diduduki musuh.

Alternatif kedua Desa Sangkrah/Sonosewu. Dari sisi geografi dan topografi sangat baik. Tanahnya subur sehingga potensi pengembangannya sangat luas. Desa Sonosewu punya latar depan pemandangan yang sangat indah. Tapi dari segi geopolitik dan  nonekonomi ada masalah.

Catatan Honggowongso menyebutkan “yen wonten wetan Bengawan, tiyang Jawi  badhe wangsung Buda malih. Tansah tukar lan rowang (kalau di timur Bengawan Sala, orang Jawa bakal kembali menjadi Buda. Selalu bertengkar dan  berperang),”. Pengertian Buda meliputi semua kepercayaan dan agama sebelum kedatangan Islam. Termasuk Hinduisme, Buddhisme, aninisme dan lainnya.

Desa Sala menjadi alternatif ketiga. Di mata Honggowongso digambarkan sebagai pilihan yang terbaik. Pendapat ini didukung Patih Pringgalaya dan Sindureja. Pihak yang menolak adalah konsultan Mayor Hohendorff.

Hohendorff lebih menyukai Desa Kadipolo. Jika tidak, lebih baik mencari alternatif lain yakni Desa Sangkrah/Sonosewu. Lokasinya berada lebih ke timur dibandingkan Desa Sala.

Meski Hohendorff tidak setuju dengan pilihan Desa Sala, tim yang dipimpin Mangkubumi tetap pada sikapnya. Tim mengusulkan Desa Sala sebagai kuthagara  atau ibu kota pengganti Kartasura.

Setelah menentukan lokasi, tim kemudian membuat laporan kepada Paku Buwono II. Studi kelayakan dan pelaksanaan pembangunan ibu kota baru berjalan selama setahun. Antara 1745 hingga 1746.

Mangkubumi bersama angggota timnya kemudian mengadakan perjalanan keliling ke sejumlah desa di timur Kartasura. Saat itu Mangkubumi menjumpai tanah yang subur dan harum di Desa Tolowangi. Desa itu terletak persis di timur Desa Sala. Sayangnya Desa Tolowangi itu tanahnya kurang luas. (laz)