SETELAH sebelumnya republik ini dibuat geger karena kematian kurang lebih 500 pejuang demokrasi, masyarakat Indonesia kembali disuguhkan oleh pemandangan yang membuat risau. Pertama, dr Ani Hasibuan yang dipolisikan karena dianggap menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian setelah sebelumnya mempublikasikan hasil risetnya tentang penyebab kematian petugas KPPS di wilayah Jogjakarta.
Kedua, Menkopolhukam membentuk sebuah tim yang diberi nama Tim Asistensi Kemenkopolhukam. Tim ini bertugas melakukan kajian dan asistensi hukum terkait ucapan dan tindakan yang melanggar hukum pasca pemilihan umum untuk menentukan dapat tidaknya dilakukan upaya hukum. Secara struktural, di dalamnya duduk beberapa kementerian dan tim ahli yang berunsurkan akademisi/ahli hukum, BIN, BPHN, dan sejumlah deputi bidang koordinasi dari kemenkopolhukam.
Dengan mata telanjang bisa dinilai bahwasannya ada intensi terselubung bila upaya yang beyond the duty (melebihi tugas) dari dr Ani itu dihalangi. Sementara riset yang dilakukannya murni untuk memberikan informasi alternatif dan menguak penyebab pasti kematian 500 petugas KPPS tersebut, karena sebelumnya KPU hanya memberikan pernyataan sederhana bahwasannya mereka meninggal karena kelelahan.
Begitu ketika melirik tugas dari Tim Asistensi yang dibentuk oleh Menkopolhukam melalui Keputusannya yang bernomor 38 Tahun 2019 ini, publik merasa ada intervensi dari lembaga eksekutif terhadap proses penegakan hukum. Hal ini dikarena subjektifitas penilaian terhadap dapat tidaknya ditempuh upaya hukum terhadap suatu ucapan atau perbuatan yang diutarakan seseorang pascapemilu, sehingga pembentukan tim ini berpotensi untuk mengebiri kebebasan berpendapat.
Pada 1960-an, sebuah pikiran brilian yang ditulis Bung Hatta pernah membuat penerbit yang menerbitkannya dibredel. Tulisan yang diberi judul ”Demokrasi Kita” itu memuat gambaran bahwasannya demokrasi Indonesia sedang dalam keadaan yang terancam. Tidak cukup sampai disitu, penerbit yang bernama Pandji Masjarakat itu dilarang menerbitkan dan menyebarluaskan ulang karya tersebut. Begitupun bagi siapa saja yang membaca ataupun menyimpan tulisan itu akan dikenakan hukuman.
Paling tidak, alasan utama tulisan tersebut dihalang-halangi untuk diterbitkan dan disebarluaskan adalah upaya dari Bung Hatta untuk menguak perilaku pemerintah yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1950 dan Peraturan yang berlaku lainnya.
Pertama, secara konstitusional, presiden tidak bertanggung jawab atas pembentukan kabinet, namun pada kenyataannya, dia mengangkat dirinya sendiri sebagai formatur kabinet. Jalan ganjil yang ditempuh pemerintah itu justru mendapat legitimasi dan tidak mendapatkan keberatan yang prinsipil dari parlemen dengan alasan “keadaan darurat”. Kedua, Pasca diterbitkannya Dekrit Presiden, Presiden pernah berselisih dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait jumlah anggaran belanja. Dengan suatu penetapan, DPR dibubarkan dan disusunlah DPR yang baru berdasarkan konsepsinya sendiri.
Jumlah anggota DPR yang baru itu sebanyak 261 orang, separuhnya berunsurkan anggota-anggota partai, dan sebagian yang lain disebut sebagai golongan fungsional, seperti buruh, tani, pemuda, wanita, alim ulama, cendekiawan, tentara, dan polisi. Seluruhnya ditunjuk oleh Presiden, dan separuh anggota DPR yang disingkirkan adalah anggota partai politik oposisi.
Dari 1960 ke 2019, telah berlalu 59 tahun, namun suasana hari ini tampaknya tidak berubah. Pertama, secara samar-samar bisa dillihat bahwasannya usaha dr Ani untuk memberikan informasi alternatif memiliki tujuan yang sama dengan Bung Hatta, yaitu untuk melihat ulang secara empiris, fakta yang terjadi di lapangan.
Tuduhan ”menyebarkan kebencian” terhadap ide dr Ani merupakan ketidaksiapan pemerintah terhadap sumber informasi lain yang diberikan oleh seseorang. Begitu pula dengan Tim Asistensi Kemenkopolhukam. Pembentukan tim ini terlihat menyerupai pembentukan kabinet pada masa UUD 1950 diberlakukan, sebab dibentuk tanpa aturan delegatif yang jelas. Kalaupun merasa mendapatkan mandat dari pasal 340 huruf c Permenkopolhukam No. 4 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemenkopolhukan untuk membentuk tim koordinasi, tim tersebut hanya memiliki kewenangan sebagai tim kajian.
Dalam tataran yang lebih jauh, tugas tim tersebut terbatas pada pembahasan atau pengkajian masalah yang bersifat strategis untuk merumuskan saran kebijakan dan pemecahan masalah dalam isu yang menjadi ranahnya menkopolhukam. Lagi pula, tugas yang diberikan kepada tim ini berpotensi tumpang tindih dengan lembaga lain.
Bila berkaitan dengan permasalahan pemilu (sebagaimana tertera pada bagian konsideran), Indonesia sudah memiliki DKPP bila pelanggarannya berkaitan dengan kode etik. Ada Bawaslu bila yang disengketakan adalah sengketa pemilihan dan administrasi. Bila terkait tindak pidana pemilu, ada Sentra Gakkumdu. Bila berkaitan dengan sengketa Tata Usaha Negara, ada PTUN. Pun bila ada sengketa hasil, Mahkamah Konstitusi sudah dilekati tugas untuk menyelesaikannya. Tampaknya, satu-satunya alasan dari dibentuknya tim ini sama dengan alasan Presiden mengangkat diri sebagai formatur kabinet, yaitu ”keadaan darurat”
Melalui hukum dan institusi yang ada, pemerintah selaku representasi dari negara berkewajiban untuk menjalankan amanah tersebut, yaitu melindungi hak asasi warga negara dan menjaga kondusifitas dari demokrasi. Bila pemerintah merasa telah menegakkan hukum, tapi justru grafik demokrasi memperlihatkan kecondongan ke arah yang sebaliknya, maka secara intuitif bisa dipastikan bahwa hukum yang ditegakkan adalah hukum yang otoriter.
El-Mostafa Benlamih, dalam buku Indeks Demokrasi di Indonesia: Indeks Demokrasi Indonesia 2009, mengatakan bahwa ukuran demokrasi di Indonesia ditinjau dari tiga aspek: Kebebasan Sipil (civil liberties), Hak-Hak Politik (political rights), dan Lembaga Demokrasi (institution of democracy). Berdasarkan tolak ukur tersebut dan fakta yang terjadi saat ini, tampaknya demokrasi Indonesia sedikit-demi sedikit mulai tergerogoti. PR Indonesia yang terletak di pundak pemimpin negara dengan segala perangkatnya makin berat, yaitu menjamin partisipasi warga negara di ruang publik dan mengontrol lembaga negara yang berpotensi merusak struktur demokrasi. Harapannya dengan langkah ini, asas kedaulatan rakyat bisa terekonstruksi dan menjadi wajah baru demokrasi Indonesia. (ila)
*Penulis merupakan Kepala Bidang Hikmah Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Sleman.