Jadi himne wajib generasi yang menuntut Soeharto turun, Darah Juang juga kini dinyanyikan para mahasiswa yang menolak UU dan RUU kontroversial. Jauh sebelum menulis lagu itu, John Tobing sudah merenungkan betapa banyak ketidakadilan di Indonesia.

SEVTIA EKA NOVARITA, Sleman – AGAS P. HARTANTO, Jakarta, Jawa Pos

GITAR sudah di tangan John Tobing. Tapi, permintaan untuk menyanyikan mahakaryanya itu tak kunjung dia penuhi. Hanya dawai sesekali dia petik.

”Darah Juang, Darah Juang, Darah Juang, tuh kan sudah saya nyanyikan hehehe, ” kata dia kepada Jawa Pos Radar Jogja yang menemuinya di kediamannya di Purwomartani, Kalasan, Sleman, Jogjakarta, kemarin (26/9).

Darah Juang lahir dari tangan pria 53 tahun itu pada 1991. Dan, hampir tiga dekade berselang, lagu tersebut tetap saja abadi. Terutama bagi para demonstran.

Misalnya, saat demonstrasi mahasiswa 1998 yang menuntut turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan. Juga, pada gelombang demonstrasi belakangan yang menolak Undang-Undang (UU) KPK, RKUHP, dan sejumlah RUU kontroversial lain.

Di kota kelahirannya, Jogjakarta, maupun di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan kota-kota lain, Darah Juang adalah himne wajib. Masih jadi penyemangat yang ampuh. Masih jadi pengingat yang andal akan kondisi negeri.

”Mereka dirampas haknya tergusur dan lapar bunda relakan darah juang kami tuk membebaskan rakyat…”

Siapa yang tak akan merinding mendengarnya? Kecuali Anda makhluk paling bebal di dunia atau masa bodoh sekali dengan negeri ini, siapa yang tak akan tergerak pada ”Di negeri permai ini/ Berjuta rakyat bersimbah ruah/ Anak kurus tak sekolah/ Pemuda desa tak kerja…

”Lagu itu akan terus bergema selama kesenjangan di tanah air Indonesia masih terlihat,” kata John yang kemarin didampingi sang istri Dona Ellis Herawati Hutabarat.

Umurnya begitu panjang, namun proses penulisan lagu itu hanya sehari. John mendapatkan melodinya saat dia bermain gitar kala berkumpul bersama sejumlah kawan aktivis di kawasan Gejayan, Jogjakarta.

Kala itu, 1991, pria bernama lengkap Johnsony Marhasak Lumbantobing tersebut masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Selanjutnya, dia meminta Dadang Juliantara, sesama aktivis, menuliskan lirik.

Kalau penulisan melodi dan lirik tak butuh waktu lama, tidak demikian dengan kegelisahan yang menjadi latar belakang lagu tersebut. ”Sedari SMP saya renungkan betapa tidak adilnya Indonesia. Dan, sampai sekarang ternyata masih seperti itu,” tutur ayah tiga anak tersebut.

Mungkin karena itulah Darah Juang terus relevan sampai sekarang. John sangat mengapresiasi semangat juang dan keinginan para mahasiswa saat ini untuk memajukan Indonesia. ”Semoga Darah Juang bisa menyemangati mereka untuk menolak sesuatu yang tidak benar,” kata John yang sudah mulai menulis lagu sejak SD tersebut.

Di mata jurnalis senior Nezar Patrio, John adalah seorang teman dan senior yang punya rasa setia kawan tinggi. ”Itu yang saya kagumi dari dia,” katanya.

Nezar masih ingat betul ketika kerusuhan 27 Juli 1996. Saat itu, Nezar dituduh sebagai dalang biang keladi kerusuhan. ”Begitu tahu kami dipukul dan dituduh sebagai dalang, John berusaha mengontak saya dengan berbagai jalur. Akhirnya kami bertemu. John menawarkan dan membawa saya ke satu tempat untuk bersembunyi,” kenangnya.

Hidup John juga bukti bagaimana spirit dalam Darah Juang itu terus dia rawat. Sejak remaja, mulai semasa kuliah, setelah lulus, juga ketika memasuki dunia kerja. Dia bertahan dari berbagai godaan untuk menikmati apa yang bukan haknya.

Pernah bekerja sebagai jurnalis di sebuah majalah berbahasa Batak, John memutuskan untuk berhenti. Membangun usahanya di bidang mebel yang akhirnya juga harus mandek karena bahan kayu yang harganya melonjak.

Sempat ikut salah satu partai politik, John bisa saja dengan mudah mendapatkan kekayaan dengan kekuasaan yang dimilikinya. Hidup nyaman dan berkecukupan. Namun, dia menolak karena tidak sesuai dengan idealismenya.

Sampai-sampai hingga hari ini pun John masih tak memiliki tempat tinggal atas namanya sendiri. Masih mengontrak. Tapi, John dan keluarga sama sekali tak merasa terbebani karena itu.

”Selama saya tidak mengemis dan mengambil hak orang lain,” ucap John, lantas tertawa.

Di usia pernikahannya yang ke-22 tahun, John dan Dona telah dikaruniai tiga anak. Putri pertamanya, Cathrine Tana Tania, 21, kini sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Jogjakarta. Disusul Sandio Mathias Pawitra, 17, dan anak bungsu berusia 13 tahun bernama Gopas Kibar Syang Proudy.

Meski tidak mudah membiayai pendidikan ketiga buah hatinya, John dan Dona tidak ingin patah semangat. Hasil penjualan biji kopi dan aksinya di berbagai acara mampu menghidupi keluarga. Ditambah dengan menulis lagu yang sampai saat ini masih dia tekuni.

John pun tak pernah mempermasalahkan hak cipta Darah Juang. Tak sepeser pun dia pernah menerima royalti atas karyanya tersebut.

”Tapi, justru ada kawan yang protes, sebenarnya saya menulis Darah Juang untuk siapa. Gara-garanya, di demonstrasi kali ini, yang anti-UU KPK maupun yang pro sama-sama menyanyikan lagu itu hehehe,” katanya.

Dalam waktu dekat, John bersama seorang rekan akan memperkenalkan kembali Darah Juang sesuai dengan melodi aslinya. Sebab, saat ini banyak sekali versi yang hadir dari lagu tersebut. (riz)